ALAM FIKIRAN DAN KENYATAAN
A. Neo-Kantianisme
Hampir semua orang ahli tentang filsafat
dewasa ini sependapat bahwa filsafat ini adalah bersifat agak membenci idealism, jadi mengandung tanda-tanda
anti-idealisme. Mulai dari Plato sampai pada Husserl itu mempunyai pengaruh
yang besar dalam filsafatbarat. Idealisme bukanlah suatu ajaran atau system
tertentu yang diuraikan dengan pembatasan yang teliti, melainkan lebih
merupakan keyakinan yang umum, sesuatu pendirian yang prinsipil, yang dapat
dikemukakan menurut bermacam-macam cara. Pendirian ini memberi patokan
bagaimana manusia menghadapi kenyataan, apa yang dianggapnya sebagai yang
tetap, yang tak berubah, yang abadi dan apa yang sebagai kebetulan, yang tak
hakiki, yang relatif dan yang fana (tak abadi). Barang siapa yang menganut
idealism akan menerangkan kenyataan dunia menurut cara tertentu, dan bersamaan
dengan itu diterangkannya pula tentang dirinya, sungguhpun barang kali tidak
selalu disadarinya sungguh-sungguh. Dia tidak akan mengatakan, seperti seorang
materialism,bahwa seluruh kenyataan itu pada akhirnya bersifat zat (materi) dan
dapat dikembalikan kepada gerak dari bagian-bagian zat. Dia akan mengambil
pendirian bahwa hakikat kenyataan itu bersifat rohani, bahwa selain dari dunia
peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam waktu, ada dunia cita,yang tak
terikat pada waktu, bahwa bukanlah zat yang pertama dan yang terakhir,
melainkan roh, bahwa orang tak akan dapat menentukan apa yang disebut
kenyataan, dengan tidak disuruh tentukan oleh akal fikiran. Seperti dikaitkan
diatas idealism bukanlah system ajaran yang tetap dan tertentu.Segala system
idealisme timbulnya dari sesuatu posisi yang prinsipil dari manusia yang
berifkir berhubung dengan dirinya sendiri dan berhubung dengan kenyataan sekitarnya.Idealisme
itu dapat dilanjutkan sedemikian rupa, sehingga sebenarnya tak ada lagi yang
tinggal dari kenyataan diluar dari kita, sehingga tidak diakui sifat adanya
kenyataan itu.Tetapi ini sebenarnya tidaklah menjadi keharusan, sungguhpun
memang pernah kaum idealis yang radikal, yang seolah-olah mengambil kembali
seluruh kenyataan kedalam keasadaran dan kedalam alam fikiran untuk kemudian
dikeluarkan lagi dalam bentuk system filsafat.Ada pula kaum idealis seperti
Plato yang membagi kenyataan dalam bagian (dualis) dan membuat pemisahan
prinsipil antara dunia peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam ruang dan
waktu dan dunia cita (ide) yang abadi. Tetapi ada pula kaum idealis seperti
Hegel yang mengakui bahwa semuanya adalah cita, tetapi menambahkan pula bahwa
cita itu tidaklah terlaksana diseberang sana dari dunia pengalaman,melainkan
justru adalah didalamnya. Sebagai idealis orang dapat mengambil pendirian,
bahwa dunia itu dua, dengan tidak menghubungkan kongklusi bahwa hanya satu dari
dunia itu yang sebenarnya nyata ada dengan mendesak yang lain, yang dapat
disebut dunia bajangan. Kant misalnya memang seorang dualis, tetapi dia tidak
mengatakan bahwa dunia yang satu berarti segala-galanya dan yang lain sama
sekali bukan apa-apa. Yang benar ialah bahwa dalam dunia yang satu kebebasan
mungkin terjelmakan dan dalam dunia yang lain tidak, tetapi sebaliknya dalam
yang lain itu ada sesuatu yang mungkin, yang tak ada dalam dunia yang satunya
lagi, yaitu pengetahuan keilmuan yang pasti. Pengetahuan keilmuan itu tidak
bersangkutan dengan dunia bajangan, melainkan dengan dunia peristiwa-peristiwa.
Pengetahuan itu hanya menjelma, karena peristiwa itu diatur oleh roh yang kuasa
mengetahui, karena roh itu mengadakan sintesis,sifat beraturan, pertalian dalam
ketentuan-ketentuan yang kacau-balau, yang sampai kepada kita dari dunia luar
dengan melalui pancaindera. Demikianlah kant itupun adalah idealis, tetapi
adalah lain idealisnya dari ump. Uskup Irlandia, Berkeley, yang mengambil
pendirian bahwa ada itu sama dengan diamati. Jadi filsafat dewasa ini sedikit
banyaknya memperlihatkan ketidaksukaan terhadap idealisme dalam bentuk apapun
juga, dan filsafat abad ke-20 juga sadar, bahwa ia berlainan dari filsafatabad
ke-19. Abad-abad itu dalam kehidupan fikiran dan perasaan manusia sering kali
mempunyai peranan sebagai kebesaran-kebesaran yang nyata ada, sebagai
kekuasaan-kekuasaan yang konkrit, hampir-hampir sebagai individu-individu yang
mengenal masing-masing sebagai saudara atau berlawanan satu sama lain sampai
mati-matian. Dalam kenyataannya hal ini tentulah tak lain daripada
perjuangan yang berlangsung
dalamkesadaran manusia. Bahwa filsafat abad ke-20 tak putus-putusnya
memperbandingkan dirinya dengan filsafat abad ke-19 dan sering menyatakan
protes terhadapnya, tidaklah lain artinya bahwa sejumlah orang dari masa
sekarang yang berfikir-fikir dengan segala jerih payah mengambil sikap yang
lain atau mendapatkan kongklusi-kongklusi yang lain daripada sejumlah manusia
berfikir yang lain, yang berjerih payah juga seperti mereka di zaman yang lain.
Jika filsafat abad ke-20 mengadakan tantangan terhadap filsafat abad ke-19 dan
bersamaan dengan itu terhadap idealisme, maka idealisme dan abad ke-19 sudah
tentu harus mempunyai pertalian satu sama lain. ini tidaklah sama artinya
dengan jika masalahnya saja katakana, bahwa abad ke-19 adalah semata-mata abad
idealisme. Jika sekiranya kita menemui kualifikasi semacam itu dalam buku-buku
maka kita haruslah awas-awas.Orang suka memasang etiket-etiket pada
barang-barang yang dihadapinya, agar dengan mudah dapat dikenalnya.Demikianlah
pula manusia itu berhadapan juga dengan abad-abad, sungguhpun caranya tentu
berlainan dengan menghadapi botol-botol. Dalam sebuah botol mungkin ada air
soda atau spiritus didalamnya tak ada yang lain selain daripada air soda atau
spiritus. Jika kita tidak yakin benar, maka kita propnya lalu kita cumi baunya.
Air soda memang lain benar baunya dari spiritus. Dalam lapangan ilmu orang
memperlakukan abad-abad itu juga seperti botol-botol. Celakanya hanyalah bahwa
orang-orang ilmu tidaklah sepakat, apa yang harus dituliskan diatas
etiket-etiket, sehingga timbullah kekacauan yang hebat dan sungguhpun mereka
semuanya umpamanya menyebut-nyebut tentang abad ke-19, tetapi sebenarnya
lain-lain yang mereka maksud. Sebab diatas etiket yang satu tertulis idealisme
diatas yang lain materialisme diatas yang berikutnya pesimisme dan diatas yang
lain lagi optimisme. Demikian juga berlain-lain ke-18, abad ke-17 dan abad
ke-16. Tetapi orang harus insaf bahwa abad adalah pengertian yang abstrak,
suatu nama untuk sesuatu yang sebetulnya tidak dapat disimpulkan dalam satu
istilah.jika orang hendak bersih keras mempergunakan botol-botol tempat
memasukannya maka botol-botol itu harus diisi dengan campuran-campuran dan
disamping itu orang harus berjaga-jaga pula, oleh karena isinya senantiasa kan
melimpah, sebab terlalu berbusa bagi tiap bentuk yang bagaimana pun juga.
Idealisme, materialisme, optimisme, pesimisme, dan yanglain-lain lagi semuanya
dapat ditemukan dalam abad ke-19. Abad ini bukanlah abad mutlak tentang sesuatu
menyampingkan yang lain. juga seorang manusia tidaklah mempunyai hanya satu
sifat watak, tetapi wataknya dibentuk oleh sifat-sifat yang beragam-ragam. Jika
orang hendak mencapai juga pembedaan yang bertanggungjawab menurut ilmu, jadi
mengenal satu-satu abad yang berturut-turut itu, maka haruslah orang menyiasati
peranan yang dilakukan oleh bermacam-macam sifat, ciri, pendirian, dan sikap
didalamnya dan barulah dengan sangat berhati-hati dan waspada, orang mungkin
mencapai kongklusi bahwa bagi zaman yang dimaksud itu salah satu daripada
ciri-ciri yang lai-lain. Berhati-hati secara keilmuan terlalu sering benar
diabaikan.Kadang-kadang memang sikap kurang hati-hati lebih menarik perhatian
dan dengan sikap demikian orang membayangkan kepada pembaca atau pendengar
seolah-olah soalnya lebih mudah dan kurang ruwet daripada yang sebenarnya.Jadi
tidak lebih yang hendak kita katakana daripada bahwa idealisme mempunyai
peranan tertentu dalam abad ke-1, bahwa idealisme adalah merupakan suatu
kekuatan rohani yang ikut memberi bentuk pada abad itu. Siapa yang tidak
mengakui hal ini haruslah pula tidak mengakui bahwa dalam abad itu tak pernah
hidup seorang ahli fikir macam Hegel
atau orang harus sangggup membuktikan bahwa Hegel itu bukan seorang ahli fikir
atau bahwa Hegel itu bukan sama sekali tak mempunyai pengaruh. Pada masa Hegel
alam fikiran idealisme mencapai puncak perkembangannya dalam bentuk tinjauan
dan bentuk spekulasi.Tetapi ini bukanlah pernyataan yang penting dari
anti-idealisme, malahan ada kelihatan tanda-tanda yang menyatakan bahwa penulis
phanomenologie des geistes itu kini mulai lebih dihormat lagi oleh
filsuf-filsuf dewasa ini. Bentuk yang penting dari idealisme, yang ditentang
oleh filsafat abad ke-20, bukanlah berhubungan dengan nama Hegel,melainkan
dengan nama Kant. Yang disebut Neo-Kantianisme itulah, yang mulai dari
kira-kira tahun 1860 sampai kira-kira 1920, amat mempengaruhi alam fikiran
filsafat dismeua negeri barat. Justru apabila kita telah agak mengenal
Neo-Kantianisme, maka sangguplah kita mengetahui bagaimana hebatnya perubahan
posisi-posisi terpenting dari alam fikiran zaman sekarang bila dibandingkan
dengan Neo-Kantianisme itu.Berbagai aliran yang muncul dalam puluhan tahun
terakhir ini, seperti pragmatism dan filsafat hidup, neo-positifisme dan
fenomenologi, eksistensialisme dan metafisika baru menyatakan kritik
terhadapnya. Malahan mereka menganggap cara kaum neo-kantianisme berfilsafat
adalah lebih kurang seperti sesuatu cara yang sudah usang, seperti sesuatu yang
tidak diaktuali lagi dan tidak dapat memberi kepuasaan lagi. Orang menghendaki
dari filsafat sesuatu yang lain yang dicita-citakan dan yan dijadikan tujuan
filsafat kaum neo-kantianisme. Itulah maka praktis orang tidak lagi
mempersoalkan tulisan-tulisan mereka, dan seorangpun tidak ada lagi dari kaum
neo-kantian yang terkemuka yang masih hidup: Wilhelm windelband meninggal tahun
1915, Hermann Cohen tahun 1918, Paul Natorp tahun 1924, Heinrich Rickert tahun
1936, Ernst Cassier tahun 1945. Hal ini barang kali tidak terlalu penting,
tetapi yang lebih penting ialah bahwa tak seorangpun dari pemuka-pemuka
tersebut mendapat pengikut yang sama pengaruhnya dengan mereka. Bahkan sewaktu
mereka hidup aliran yang diwakili mereka telah menunjukan garis yang menurun
dan mereka harus lebih giat mempertahankan diri terhadap pendirian-pendirian
dan pendapat-pendapat yang baru muncul, dan pada umumnya hal itu dilakukan
mereka dengan ketangkasan dan kecerdasan yang ulung.Bahwa antara
Neo-Kantianisme antara kedua perang dunia lebih hebat mengalami serangan, pasti
ada hubungan dengan krisis subjektivisme, idealisme dan rasionalisme, yang
waktu itu mulai berjangkit dengan hebatnya dan makin lama makin menjalar. Sudah
barang tentu krisis itupun berhubungan pula dengan sesuatu yang lain pula, ia
tidak jatuh begitu saja dari langit sebagai sesuatu kegemaran intelek atau
kesusilaan. Dalam pendahuluan telah dibicarakan tentang hal ini seperlunya.
Bahwa suatu filsafat tertentu ada hubungannya dengan masyarakatnya ditempat ia
muncul, oleh idealis Hegel pun malah di insyafi juga seperti dapat terlihat
dari ucapannya yang mashur, bahwa tiap-tiap filsafat adalah zamannya yang
tersimpul dalam buah fikiran. Jika pendapat-pendapat filsafat berubah, maka
hanya untuk sebagian saja perubahan itu disebabkan oleh sebab-sebab diselidiki,
pendapat-pendapat itu mengikuti perubahan-perubahan dari keadaan-keadaan umum
dan pertalian peristiwa dan dari suasana kerohanian tempat manusia itu hidup.
Pendapat-pendapat itu tidaklah berubah karena orang berangsur-angsur ataupun
secara tiba-tiba insyaf, bahwa pendapat itu salah atau tak dapat dipertahankan
lagi, sebab: mengapa orang tak akan mengetahuinya apabila hal itu sudah muncul?
Pendapat-pendapat itu berubah, karena tidak lagi memberikan apa yang
dikehendaki oleh manusia dari filsafat dalam situasi yang baru,karena manusia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan maksud-maksud yang baru dan memilih pokok
pangkal yang lain untuk mendapatkan jawabannya. Kira-kira tiga puluh empat
puluh tahun yang lalu dalam lingkungan yang sangat luas orang masih berfilsafat
menurut corak neo-kantian dan kebanyakan
pelajaran-pelajaran filsafat di akademi-akademi bukan saja dijerman, melainkan
juga di luar negeri tersebut( negeri belanda), diberikan oleh wakil-wakil dari
aliran ini. Hal ini sudah lampau secara radikal dan hasil-hasil fikiran dari
kaum neo-kantian itu sekarang boleh dikatakan hanya masih dibaca oleh mereka
yang mempunyai minat terhadap sejarah filsafat.Sekarang orang membaca
Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel, Whithead, Russel, Bergson dan kaum kaum
neo-kantian telah dilupakan, mereka boleh dikatakan sudah termasuk barang
antik.Sekalipun Neo-Kantianisme sendiri pernah luar biasa modernnya dan sendiri pernah merupakan suatu
gerakan penentang yang kuat, yang juga mengadakan protes dan tantangan terhadap
keadaan kerohanian dari tengahan kedua dari abad ke-19, yang dianggapnya
sebagai bahaya yang akan mematikan filsafat. Yang dimaksud itu ialah keadaan
kerohanian dan positivisme materialis.Positivisme materialis ini sebenarnya mau
meleburkan seluruh filsafat kedalam ilmu kealaman, suatu contoh yang besar dan
ideal dari pengetahuan kenyataan yang ekak. Untuk memahamkan itu hendaknya
orang mengetahui bahwa ilmu-ilmu kealaman yang meletakan pengetahuannya dalam
hokum-hukum yang dirumuskan secara ilmu pasti, sangat besar pengaruhnya
terhadap pembentukan kultur barat. Pengaruh itu mungkin mengalahkan
factor-faktor lain, yang telah pernah memberi corak pada kultur tersebut.
Penyelidikan alam dan mempraktekan pengetahuan yang didapat daripada
penyelidikan tersebut dalam masyarakat jauh lebih penting daripada studi
tentang sejarah manusia. Artinya manusia barat lebih intensif dan lebih menurut
metode melakukan penyelidikan tentang yang ada di sekitarnya,yaitu kenyataan
yang terpapar, daripada kenyataan sejarah dan kultur dalam pengertian umum yang
diadakannya sendiri dan yang selalu berubah-ubah. Dibarat lama orang
seolah-olah menyembah dan memuja ilmu-ilmu kealaman.Hanya metodenyalah yang
berlaku sebagai metode keilmuan yang sebenarnya dan hanya pengetahuan yang
dihasilkan ilmu tersebut yang dianggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya,
yang tetap, dan tak berubah-ubah.Sebab hanya inilah yang membuktikan bahwa
peristiwa-peristiwa alam dikuasai oleh hokum-hukum yang tak dapat di
tumbangkan.Jika orang hendak menyelidiki kenyataan yang lain macamnya, dengan
cara ilmu pula maka orang harus pulalah berusaha mencari hokum-hukumnya. Jika
telah diketahui, bahwa segala peristiwa bukan saja dalam alam melainkan juga
dalam sejarah dan dalam masyarakat (pergulan hidup) berlangsung menurut hukum-hukum
yang tetap, maka kenyataan itu tidaklah dapat membawa kita kepada hal-hal yang
tak terduga-duga, sehingga dapatlah kita memperhitungkan bagaimana akan
dijalannya peristiwa itu selanjutnya. Pengetahuan ialah kuasa, mengetahui ialah
melihat ke depan. Bangsa dan jenis bangsa (ras), yang memiliki pengetahuan ini
berpengaruh didunia.Sejarah sendiri telah membuktikan hal ini. Maka dalam abad
ke-19 lama pula filsafat berada dalam bahaya akan tertinggal dari ilmu-ilmu
khusus. Semakin banyak muncul ilmu-ilmu khusus, semakin kecil rupanya tempat
yang tinggal baginya. Tiap-tiap lapangan diolah oleh spesialis-spesialis
masing-masing sehingga apalagi yang akan diperbuat filsafat? Untuk memulai lagi
dari diri sendiri rupanya tak masuk akal.Paling dia hanya dapat meneruskan
usahanya dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu khusus itu dan mencoba
menghimpunkannya dalam suatu system.Tetapi hasil-hasil itu adalah bahan yang
tak dapat diperlukan untuk pekerjaan mereka.Jadi filsafat boleh dikatakan selalu
harus berjalan dibelakang ilmu-ilmu khusus. Maka adalah salah satu jasa yang
besar dari Neo-Kantianisme yang mewujudkan bahwa pendapat diatas itu
berdasarkan kekhilafan .ilmu-ilmu itu tidaklah dapat puas dengan dirinya
sendiri seperti yang mereka kira. Pertanyaan-pertanyaan yang mengenai filsafat
bukanlah sambungan daripada pengetahuan, yang dikumpulkan oleh ilmu-ilmu itu,
melainkan mendahuluinya.Pertanyaan-pertanyaan itu adalah
prinsipil.Pertanyaan-pertanyaan itu tidak tertuju pada penyusunan dan
penghimpunan hasil-hasil dari bermacam-macam ilmu, melainkan tertuju pada
kemungkinan ilmu itu sendiri.Ilmu-ilmu itu masing-masing berpokok pada
pendapat, bahwa ilmu itu memang mungkin dan tidak saja mungkin melainkan juga
nyata, itu sudah dianggap pasti.Tetapi bagi filsafat itu adalah merupakan suatu
persangkaan (pengiraan), suatu pokok pangkal yang harus diselidiki lebih
lanjut. Ilmu-ilmu itu mempelajari benda-benda,objek-objek dan
lingkungan-lingkungan kenyataan masing-masing dan mereka yakin bahwa mereka
memperoleh pengetahuan tentang hal itu. Tetapi apa pengetahuan itu sebenarnya,
bagaimana kemungkinan adanya pengetahuan itu, bagaimana kerjanya, apa
sebenarnya kenyataan itu dan apa sebenarnya pertaliannya antara roh yang
mengetahui dan benda yang diketahui itu semuanya bukan soal-soal bagi ilmu,
melainkan adalah soal-soal filsafat. Demikianlah maka filsuf-filsuf berkata
bahwa ilmu-ilmu itu agak naïf.Itu bukanlah saja pendirian kaum Neo-kantian
melainkan ump, juga pendirian Husserl, pendirian mazhab fenomenologi.Ilmu-ilmu
bersendi pada titik pangkal yang diterima mereka sebagai sesuatu yang sudah
sewajarnya.Mereka bekerja dengan perkiraan-perkiraan yang tidak diselidiki
lebih lanjut.Tetapi dengan itu saja seorang filsuf tidaklah merasa
puas.Ilmu-ilmu mempelajari bermacam-macam objek.Tapi ilmu itu sendiri menjadi
objek bagi renungan filsafat. Ilmu-ilmu tidak bertanya akan kemungkinannya
sendiri, tdiak ditanyakan oleh mereka bagaimana mungkin mereka ada, artinya
bagamana mungkin manusia mempelajari ilmu. Ini sungguh-sungguh pertanyaan
filsafat.Inilah yang menjadi pokok bagi teori atau kritik ilmu-ilmu.Bahwa ilmu-ilmu
itu naïf, berarti bahwa ilmu-ilmu itu sendiri tidak memeriksa dirinya sendiri
dan sendi dasar tempat mereka berdiri, dengan tinjauan kritik. Tapi filsafat
tidak pula bermaksud hendak mewujudkan bahwa ilmu-ilmu itu sama sekali tidak
mempunyai dasar, melainkan bahwa dasar-dasar itu oleh ilmu-ilmu itu sendiri tidak
dijelaskan atau dinyatakan, sehingga ilmu-ilmu itu boleh dikatakan tak sadar
akan adanya dasar itu. Ilmu-ilmu itu berorientasi pada objek-objek, tetapi
soalnya bagaimanakah berorientasi itu sendiri mungkin?Apakah suatu keharusan
untuk mengira bahwa objek-objek itu ada dalam suatu kenyataan, yang adanya
tidak bergantung pada kesadaran, tegasnya suatu lapangan yang berdiri sendiri,
dimana boleh dikatakan objek-objek itu dapat kita jumpai atau dapat kita
cari?Apakah kenyataan itu lepas dan tidak bergantung pada kenyataan, dan apakah
ilmu mempelajari struktur kenyataan itu? Haruskah orang bermula dari titik
pangkal tersebut untuk dapat memahamkan apa ilmu itu dan bagaimana dia
mungkin?.Kaum Neo-Kantian menjawab bahwa ini tidaklah menjadi keharusan.Mereka
bukan realis dan mereka menolak metafisika yang lama. Mereka menganggap diri
mereka sebagai orang-orang yang melanjutkan kant, sebagai ahli warisnya dan
dalam beberapa hal juga sebagai pengoreksi terhadap kant. Seperti diketahui
kant mempunyai pendirian bahwa dunia benda-benda itu sendiri. Tidak dapat
tercapai oleh pengetahuan teori.Lapangan yang dimasuki ilmu adalah lapangan
yang terbatas, yaitu berupa keseluruhan dari peristiwa-peristiwa. Dengan
menggunakan pengertian-pengertian akal tak dapat orang membuat gambaran dan
memperoleh pengetahuan dari dunia yang sebenarnya, seperti rupa yang
sebenarnya, lepas dari apa yang difikirkan dan dibuat daripadanya oleh roh yang
mengetahui. Kaum Neo-Kantian tidak mencoba menentang air pasang materialisme
dan positivisme (Husserl nanti akan menyebut naturalismesebagai sikap rohani
yang harus direntang oleh filsafat sejati) menyusun system metafisika yang
baru, semacam gambaran intelektual tentang kosmos, dalam pusat perhatian mereka
terpanjang pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran ilmu. Pertanyaan akan
kebenenaran tidaklah hendak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang apa
wujud apa yang ada dalam arti yang nyata (realis). Jika sesuatu itu benar,
berarti bahwa sesuatu itu berlaku bahwa dia mempunyai sifat berlaku.Jadi
soalnya bukan soal wujud (ada) tetapi soal berlakunya, dan dimana dengan soal
yang diucapkan bahwa sesuatu itu berlaku? Tidak lain dari pada oleh dan sebagai
pertimbangan. Pertimbangan bukan sesuatu diluar roh yang mempertimbangkan,
melainkan ada kegiatan dari roh yang mempertimbangkan itu.Bagaimana rupanya
pertimbangan itu, bagaimana bentuknya, apayang diucapkannya, itu tidaklah
ditentukan oleh kenyataan objektif, yang terlepas dan berhadapan dengan
roh.Malahan halnya adalah sebaliknya bukanlah kenyataan dalam arti seperti ini
yang menentukan pertimbangan, melainkan pertimbangan itulah yang menentukn
kenyataan.Pertimbangan atau lebih tepat mempertimbangkan itu adalah aktivitas,
kegiatan dari fikiran. Binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan btu tidak mempertimbangkan, tetapi manusia
mempertimbangkan tentang semua itu. Jika pertimbangan itu disimpan dalam pusat
penyelidikan-penyelidikan filsafat, maka itu sama artinya dengan menaruh hal
berfikir itu ditengah-tengah. Berfikir itu ialah brfikir menurut logika,
berfikir menurut ilmu, berfikir menurut
metode. Neo-Kantianisme hendak mengetahui apa syarat-syaratnya yang logis bagi
pengetahuan yang dihasilkan oleh perantaraan serta kegiatan fikiran. Jika orang
telah menemukan syarat-syarat yang logis itu, maka tahulah pula orang
sekali apa yang memberikan objektivitas
kepada fikiran. Ditinjau demikian maka fikiran, pertimbangan, kebenaran,
objektivitas termasuk lapangan persoalan yang satu itu juga. Jika orang berbicara
tentang yang satu, maka sampai pula orang pada yang lain. Dapat pula disebut
bahwa filsafat Neo-Kantianisme itu bersifat subjektif, seperti kata Heinemann.
Tetapi orang haruslah pula mengetahui benar apa yang dimaksud. Dalam
pendahuluan telah diuraikan bahwa subjetivisme adalah pengertian yang umum dan
samar-samar yang dapat diartikan berlain-lain.sebentar dia muncul dalam bentuk
ini, kemudian dalam bentuk lain pula. Hal demikian terdapat pada segala isme.
Seperti yang dikatakan oleh Bohenski dengan tepat, kaum Neo-Kantian tidak
pernah mengatakan, bahwa dunia itu adalah terletak dalam kepala orang yang
memikirkannya, juga tak pernah mereka berkata bahwa dunia itu dalam kepala yang
satu jauh berlainan rupanya dari dalam kepala yang lain. itu adalah pendirian
solipsism yang meninjau dunia itu dari pendirian satu-satu individu. Jadi tiap
pertalian dan pertukaran fikiran antara manusia-manusia tidaklah mungkin.
Subjektivitas yang menjadi pokok pangkal bagi Neo-Kantian bukanlah
subjektivitas individu, melainkan subjektivitas umum, seperti juga yang
dimaksud oleh kant. Subjektivitas bukanlah suatu tong atau arus dari bermacam
isi (kesan-kesan, penginderaan-penginderaan, pengamatan-pengamatan,
tanggapan-tanggapan, ide-ide) yang senantiasa silih berganti dan berdesak-desakan,
melainkan suatu keseluruhan, suatu rangkaian prinsip-prinsip formil, suatu
rangkaian asas-asas bentuk apriori. Jika orang menanyakan dasar dari kebenaran
dan dari objektivitas dan kepastian keilmuan, maka orang tak akan terbentur
pada isi, melainkan pada bentuk. Bentuk-bentuk dapat ditinjau lepas dari
pertanyaan isi apa yang terkandung didalamnya. Jika kaum Neo-Kantian berkata
tentang kesadaran, maka tidaklah pula mereka maksudkan kesadaran yang kongkrit,
yang nyata atau yang khusus.Proses-proses yang berlangsung dalam kesadaran,
diselidiki oleh psikologi.Kaum Neo-Kantian tidak saja bercorak anti-metafisika,
melainkan juga anti-psikologi.Artinya mereka tidak mengakui bahwa psikologi itu
memberikan dasar, yang mungkin dipergunakan untuk memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan filsafat sejati. Juga Husserl berpendirian demikian dan
tidak mau tahu sedikit juga tentang psikologi, jika mengenai pertanyaan apa
logika itu atau apa sebenarnya pengetahuan itu. Jika yang menjadi persoalan
ialah berlakunya atau benarnya pertimbangan, maka soal berlakunya, soal
sebenarnya itu tidaklah dapat dijabarkan dari perhubungan atau teraturnya
peristiwa-peristiwa atau proses-proses tertentu dalam
kesadaran.Peristiwa-peristiwa kesadaran adalah bersifat peristiwa feitelijk.Dari
pertalian antara ketentuan-ketentuan yang bersifat peristiwa tidak dapat
dijabarkan soal berlakunya.Soal berlakunya terletak dilapangan yang prinsipnya
berlainan.Jika orang melupakan perbedaan ini maka orang membuat sesuatu
kesalahan, yang disebut orang yunani.Kaum Neo-Kantian seperti ternyata dari
segalanya adalah kaum idealis.Idealism itu umumnya berpokok pangkal bahwa roh
atau kesadaran yang berfikir lebih dahulu daripada wujud.Yakni bahwa orang tak
dapat berbicara tentang wujud, kenyataan, kebenaran atau objektivitas wujud itu
diluar fikiran (pertimbangan) melainkan semata-mata berpangkal pada fikiran
itu.Kaum Neo-Kantian adalah kaum idealis transendental.Mereka tidak menggunakan
metode penyelidikan secara empiris yang bersandar kepada peristiwa-peristiwa
pengalaman, melainkan metode transcendental.Metode transcendental harus
menjelaskan ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat mutlak untuk mungkinnya
pengalaman empiris itu sendiri. Ketentuan-ketentuan itu sendiri tidak bias
diperdapat dari pengalaman, sebab kalau begitu, maka tidak mungkin
ketentuan-ketentuan itu bisa menimbulkan pengalaman. Akan tetapi sebaliknya
ketentuan-ketentuan itu tidak memegang peranan diluar pengalaman, melainkan
didalamnya.Jika ada tersebut tentang pengalaman, mereka tidak bersifat
aposteriori, melainkan mereka mengandung syarat-syarat formil dari segala
pengalaman, mereka bersifat apriori.Jika orang hendak menentukan bagaimana
hal-tahu atau hal-mau itu mungkin, maka haruslah orang seakan-akan pergi
kembali ke balik pengalaman itu.Dapat juga dikatakan orang harus menembus
pengalaman itu sampai kelingkungan atau lapisan yang dalam, dimana terdapat
syarat-syarat yang dapat memungkinkan pengalaman itu sendiri.Kaum Neo-Kantian
mencari syarat-syarat logika daripada hal-tahu dan hal-mau, hal menyelidik dan
hal bertindak.Tidaklah dapat orang berkata secara naïf tentang dunia sebagai
sesuatu hal objektif.Dunia sebagai objektivitas, kata kaum Neo-Kantian,
sebenarnya baru terjadi dalam pertimbangan, sebagai hasil dari kesadaran yang
mempertimbangkan.Dia adalah sintesis.Mengetahui bukanlah mencekau kenyataan
yang sudah siap tersedia begitu saja.Mengetahui ialah sebetulnya mencipta,
menciptakan kenyataan baru.Sesuatu hal, sesuatu objek, sesuatu pertalian,
sesuatu peristiwa ada jika pertimbangan menyatakan dan menentukan bahwa hal itu
ada. Dibalik apa yang dinyatakan dalam dan oleh pertimbangan, yakni kenyataan
objektif yang dihasilkan tidak ada lagi terletak kenyataan kedua. Dunia yang lain sebagai suatu hambatan yang tidak
akan dapat direbut oleh pengetahuan. Hambatan yang kukuh itu adalah dunia.
Objektivitas yang dirumuskan oleh pengetahuan tidak ada terdapat kenyataan,
yang mengendalikan fikiran atau tempat fikiran harus berpangkal mula, seperti
penginderaan yang masih diakui sebagai sumber pengetahuan oleh kant. Jadi
disatu pihak terlepas dan dipihak lain penginderaan yang bersangkutan dengan
sifat pancaindera. Yang tinggal dan yang tampil sebagai absolutum yang baru dan
yang satu-satunya ialah fungsi fikiran formil sendiri.Maka itu ada dikatakan
orang, bahwa kaum Neo-Kantian adalah pemikir bentuk apriori sejati.
Neo-Kantianisme terpecah menjadi dua aliran utama yaitu Yng dinamakan orang
mazhab Marburg (menurut kota universitas Marburg di jerman) dan mazhab baden
tau mazhab jerman barat saja. Juru bicara kedua aliran ini bekerja di Marburg,
Freiburg dan heidelburg sebagai guru besar filsafat.Neo-Kantianisme adalah
filsafat akademi sejati, aliran besar terakhir yang mengusai pengajaran
filsafat pada kebanyakan perguruan tinggi besar-besar.Mazhab Marburg wakil yang paling berkuasa dari aliran ini
adalah Herman Cohen (1942-1918), paul natorp (1954-1924), dan ernest cassier
(1874-1945). Filsafat mereka pada asasnya berorientasii pada ilmu-ilmu kealaman
matematika, seperti juga kritik der reinen vernunft nya.Ilmu-ilmu ini mewakili
perkembangan puncak dari cita-cita pengetahuan, yang menyekamkan pengaruhnya
dengan hebat pada peradaban barat abad-abad yang terakhir ini. Pengetahuan itu
yang tidak hanya dikejar saja tetapi juga telah tercapai, ialah berupa
pengetahuan yang terkenal dengan kepastiannya, objektivitasnya, ketelitiannya
dan karena ia sah berlaku secara umum. Kaum Marburg sekarang mencoba mewujudkan
sekonsekuen-konsekuennya, bahwa hal yang akhir itu dapat mungkin, bukan karena
kenyataan yang terletak diluar kesadaran (alam-fikiran) itu memperhatikan
sifat-sifat tertentu, yang menyebabkan terjadinya kepastian. Demikianlah cohen
berkata kepercayaan akan nilai berlakunya ilmu terletak pada hipotesis dari
unsur-unsur yang ganjil dan ciri-ciri itu? Semua itu tidaklah terletak terbuka
begitu saja, sehingga dapat dilihat setiap orang melainkan seolah-olah harus
dikeluarkan dari tempat terpendam. Artinya bukanlah dari lubuk bawah sadar atau
dengan jalan menggunakan salah satu cara pengobatan, kaum Marburg bukanlah ahli
psikologi melainkan ahli filsafat. Mereka tidaklah memakai metode psikologi
melainkan metode transendental.Sedikitpun mereka tidak bersangkut paut dengan
bawah sadar.,ereka mementingkan hal bentuk, struktur dari kesadaran yang
berfikir itu sendiri. Karena kesadaran itu tersusun menurut cara tertentu, maka
itulah kepastian pengetahuan itu mungkin. Prinsip-prinsip, asas-asas bentuk
dari kesadaran yang berfikir adalah syarat-syarat yang memungkinkan
pengetahuan, dan prinsip-prinip ini adalah yang logis rasionil.Kenyataan
objektif bukanlah kenyataan yang ditentukan oleh yang ada diluar alam-fikiran,
melainkan adalah kenyataan yang ditetapkan oleh alam fikiran sendiri sebagai
objektivitas yang ditentukan sebagai kenyataan itu sendiri. Wujud adalah
difikirkan bukan difikirkan oleh bermacam-macam subjek menurut berbagai-bagai
cara melaikan difikirkan oleh subjektivitas umum, dan ini berarti difikirkan
oelh fikiran. Onjek-objek tidaklah ditentukan.Mereka disediakan bagi alam
fikiran, mereka menjadi tugas, menjadi soal.Alam fikiran harus menghasilkan
objek-objek itu.Kaum Marburg meletakan tekanan yang paling besar pada fungsi
produktif inii dari fikiran. Hanya fikiran yang dapat menhasilkan yang sah
berlaku sebagai wujud, begitulah menurut pendapat cohen. Demikianlah fikiran
itu dapat disebut pencipta dan Pembina dunia. Dunia ini sebagai dunia objektif,
tidak lain daripada kesatuan yang logis-sistematis dari pengetahuan yang
bersifat keilmuan. Kant seperti dikatakan telah membatasi atau melingkari alam
fikiran atau rasio pada dua jurusan: kebawah, boleh disebut dengan
mengemukakan, bahwa alam fikiran harus menggunakan material pancaindera dari
pengalaman dan keatas dengan melepaskan pengetahuan tentang benda itu sendiri
daripadanya. Kaum Marburg tidak mau menerima batas-batas ini sebagai
batas-batas yang pasti dan tak berubah-ubah. Hal tahu bukanlah peristiwa
bukanlh factum tetapi adalah suatu perjanjian, suatu proses, suatu fieri. Dalam
berlangsungnya proses ini batas-batas itu berangsur mundur. Mundur kebelakang
karena desakan predikatif dari alam fikiran mengetahui adalah menetapkan,
menentukan secara logis. Pada kant benda itu sendiri masih terletak ditempat
yang lain, diseberang daerah yang dapat diketahui, jadi sebagai sesuatu yang pada
prinsipnya tidak akan dapat diketahui. Kaum Neo-Kantian tidak suka berbicara
tentang benda semacam itu.Apa yang oleh kant masih disebut benda itu sendiri
bagi mereka menjadi sesuatu yang ditetapkan seluruhnya artinya benda yang
diketahui. Yang tidak di ketahui bukanlah yang prinsipil tidak dapat diketahui,
melainkan adalah yang belum seluruhnya diketahui. Ding an sich itu kehilangan
sifatnya sebagai benda. Dia mempunyai fungsi pengertian batas, yaitu tujuan
yang harus dicapai oleh pengetahuan secara metode.Kita kenali sesuatu benda
sebagai benda itu dengan dijalan memegangnya dalam fikiran kita sebagai benda
itu juga.Berfikir adalah berfikir menurut tuntutan kesatuan logika dan tidak
berbahan. Jika kenyataan itu diketahui maka itu berarti bahwa fikiran itu telah
membuat dari relasi-relasi logika suatu jaringan yang di dalamnya satu sama
lain saling bersangkutan. Sendi dari pertalian ini semata-mata ditentukan oleh
prinsip-prinsip kesadaran yang berfikir itu sendiri. Mengetahui adalah proses
yang kontinu (tak terputus) dari penjelmaan sesuatu yang ditentukan menjadi
yang difikirkan, dari yang tidak tentu menjadi yang tentu dan bersama itu dari
kesadaran yang individual menjadi kesadaran yang umum,rasio yang umum. bukan
pengalaman yang mengusai fikiran, melainkan fikiran yang mengusai pengalaman.
Fikiran itu malahan dapat menjelmakan benda-benda secara metode.,objek-objek
yang tak terdapat dalam pengalaman. Ilmu-ilmu matematika membuktikan tentang
daya ini contoh-contoh yang paling luhur (angka imajiner atau chajali, hal
tidak berhingga). Filsafat cohen bersifat rasionil semata-mata dan bersama itu
juga bersifat idealis semata-mata. Dalam kedua hal ini kant masih diatasinya
pula. Ding an sich yang masih berbunyi agak realis disingkirkannya juga.
Kegiatan pusat dari fikiran bukanlah sintesis, sebab itu masih selalu
mengingatkan, pertalian dengan sesuatu, yang ditentukan atau yang disugukan
kepada fikiran dari luar.Kegiatan pusat dari fikiran ialah menghasilkan,
menciptakan, memproduksikan.Berfikir adalah berfikir dari asal mula.Segala
pertimbangan bergerak menurut arah-arah tertentu yangdisebut kategori-kategori.
Ini bukanlah pengertian-pengertian yang aangeboren melainkan dapat disebut
dimensi-dimensinyang diadakan oleh fikiran logis, aspek-aspek yang ditimbulkannya:
identitas, bantahan, kemungkinan, kenyataan, keharusan, kesatuan, dan
keragaman. Fungsi kategori dari fikiran ini tidaklah terpisah satu sama lain,
tetapi masing-masing menentukan yang lain. filsafat idealis sejati tidaklah
mempelajari bend-benda atau kejadian-kejadian melainkan peristiwa-peristiwa
keilmuan, peristiwa ilmu itu sendiri. Logika adalah ajaran alam fikiran yang
murni, yang bergerak maju bebas dari pengalaman.Demikian pula etika adalah ajaran
kemauan yang murni dan estetika adalah ajaran perasaan yang murni.Apakah
kemauan murni yang diajarkan oleh etika itu?Yaitu kemauan sebagai penghargaan
terhadap kewajiban, dan apakah kewajiban itu? Kewajiban adalah apa yang
sewajarnya. Jadi etika itu harus menyelidiki syarat-syarat dari kesewajaran
itu, seperti logika, syarat-syarat dari fikiran keilmuan, dan juga etika bebas
dari pengalaman, sebab seperti tipe dikatakan oleh cohen: pengalaman
memperlihatkan apa yang ada dan bukanlah apa yang sewajarnya harus ada.
Pengalaman hanya memperlihatkan bagaimana manusia bertindak tetapi bukanlah
menurut ukuran mana mereka sewajarnya harus bertindak supaya bertindak dengan
baik. Yang aneh pada cohen yaitu bahwa etika itu pada satu pihak dianggap amat
berdasarkan rasio dan apriori, sedangkan sebaliknya dipihak lain mempunyai
corak yang benar-benar sosial dan human. Peri kemanusiaan menjadikan cita
sentral daripadanya. Paul Natorp mengatasi cohen bukan saja dalam kejelasan
melainkan dalam kedalaman dan kelincahan gerak. Dia juga tipe seorang
Neo-Kantian.Tetapi soal-soal yang harus dipertahankan terutama dalam
tahun-tahun yang akhir dalam hidupnya, mempunyao tenden yang demikian
universal, sehingga menembus batas-batas daerah, dimana fikiran-fikiran
Neo-Kantian biasanya bergerak. Cohen telah berusaha dengan susah payah untuk
memasukan etika, estetika, dan lebih-lebih agama kedalam sistemnya yang
formalis. Pada natorp ada pengaruh hegel dan fikirannya yang spekulatif jelas
tampak dalamnya. Menyelesaikan soal agama ditinjau dari sudut rasio rupanya
tidak lagi memberi kepusan kepadanya.Dia mencoba mengembangkan ajaran logos
yang universal, dimana logos keilmuan ada mengambil sesuatu tempat tetapi tidak
lagi mengambil tempat yang pusat. Pertanyaan akan sahnya
pertimbangan-pertimbangan keilmuan umpamanya harus memberikan tempat kepada
pertanyaan yang lebih dalam tentang arti dari kenyataan yang seluruhnya. Dengan
cara ini natorp mencoba melepaskan diri dari sesuatu formalism, daripada
pendirian yang bergerak dalam relasi-relasi terbuka. Metode yag kritis
transcendental harus menyingkirkan diri atau mengambil tempat yang lebih rendah
daripada cara tinjauan yang lebih dialektis-metafisis. Dengan demikian maka
dapatlah dikatakan bahwa pada natorp Neo-Kantianisme telah mengatasi dirinya
sendiri.Tetapi yang tipe bagi pendirian Neo-Kantian bukanlah karangan-karangan
natorp yang kemudian, melainkan buku-buku yang telah membuatnya sangat
terkenal, seperti tentang dasar-dasar logika, dari ilmu-ilmu eksak dan tentang
ajaran cita dari plato yang dicobanya untuk memperlihatkan bahwa ide-ide plato
tidaklah lain daripada keteraturan hokum yang berlaku dari fikiran logis.
Seperti cohen, natorp pun bersandar pada kesatuan dalam dari pengetahuan
(keilmuan) yang menuju gambaran dunia yang tertutup, seperti yang hendak
dijelmakan oleh ilmu kealaman. Mengetahuiialah berfikir, berfikir ialah
menetapkan, mendeterminasikan, juga pengamatan berdasarkan penetapan oleh
fikiran.Tidak ada dunia pengamatan diluar aspek kuantitas, kualitas,
relasi.Objek itu bukanlah diluar melainkan didalam alam fikiran. Itulah
kritisisme sejati, tidak palsu, sedang dogmantisme berarti: berpokok pangkal
pada objek sebagai sesuatu yang ditentukan, yang mendahului fikiran, tempat
fikiran itu terbentur. Lebih dari cohen, maka natorp meletakan tekanan pada
dinamik dan pada tidak tertutupnya fikiran atau lebih tepat tidak tertutupnya
pengetahuan keilmuan. Peristiwa dalam arti kata yang mutlak adalah hal yang
terakhir yang akan dapat tercapai oleh pengetahuan, tetapidalam kenyataan ia
tak pernah tercapai, ia yang abadi bagi pengetahuan. pertimbangan tentang
sesuatu peristiwa harus terbuka untuk dikoreksi, pendapat ini sebagai asas dari
revisibiliti seperti telah dikemukakan pula dalam pendahuluan, dalam
lingkungan-lingkungan filsafat tertentu pada masa kini menjadi pusat perhatian.
Tidak dapat dikenalnya ding an sich bagi natorp seperti juga bagi cohen. Ialah
karena sekalipun pengetahuan itu memang senantiasa bertambah dan batasnya
memang agak bergeser, namun tidak pernah Ia akan dapat terjadi secara
definitive dan kemudian lantas terhenti. Adalah pendapat terbesar dari plato,
kata natorp bahwa pengetahuan keilmuan terletak dalam suatu proses yang tak
berakhir tentang pembatasan sesuatu yang tak terbatas. Titik mula atau titik
akhir yang mutlak tidak akan ditemukan didalamnya. Tiap-tiap permulaan ini
relative.Dibawah permulaan itu selalu dapat dicari permulaan dulu dan diatas
tiap-tipa penutupan relatif muncul pula yang lebih definitive.Tiap-tiap sentrum
(pusat), dimana fikiran itu hendak memusatkan dirinya, dapat dikorbankan dalam
usaha mencari sentrum yang lebih sentral.Jadi tidaklah dapat lagi orang
berbicara tentang sesuatu peristiwa dalam arti pengetahuan tertutup. Malahan
sebaliknya tiap-tiap pengetahuan, yang mengisi sela-sela kosong dalam
pengetahuan yang tercapai, akan menimbulkan soal-soal baru yang lebih besar,
atau untuk memakai perbandingan dari spencer (1802-1903) seperti halnya dengan
sebuah bola yang radiusnya bertambah panjang sampai tak berhingga, maka bersama
dengan besarnya pengetahuan yang telah tercapai, besarnya soal-soal masih harus
diselesaikan pun akan bertambah pula. Mengerti bukanlah lagi berarti berhenti
dengan hasil fikiran, melainkan justru melenyapkan tiap-tiap pengetahuan
kedalam pergerakan disana terhenti akal saja, kata bahasa popular.Dalam ini
dinyatakan bahwa orang tidak mengerti lagi hal itu. Jadi perhentian berarti
tidak mengerti, maju terus metode itulah segala-galanya bukan factum melainkan
fieri(perjanjian). Fieri ini malahan adalah factum yang satu-satunya, jadi
orang tak dapat menetapkan ilmu.Menetapkan objek adalah pekerjaan yang tak
berhingga.Tiap permulaan, biarpun ditetapkan secara radikal, membawa ke
soal-soal dan perkembangan-perkembangan yang lebih dalam. Itulah hokum logos,hokum
daripada yang logis. Fikiran yang logis membuka jalan kepada pertanyaan dan
kepada pendalaman soal yang tak terbatas.Kesatuan fikiran adalah kesatuan garis
tempuhan yang dilukiskan oleh fikiran. Telah menjadi daerah daging bagi manusia
bahwa ia ingin mengetahui apa yang ada. Juga aristoteles berpokok pada hal
ini.Menurut natorp pendirian ini adalah naïf. Objek-objek itu berkembang
sendiri oleh ilmu-ilmu dalam suatu proses, yang bukan bersifat historis atau
bersifat psikologis nelainkan bersifat logis.
Heinrich Rickert (1863-1936) menyebutkan
alam dan sejarah sebagai kenyataan-kenyataan yang ditentukan, yang dicoba
hendak dihampiri oleh ilmu-ilmu tertentu.Alam dan sejarah sebenarnya baru
terjadi dalam dan oleh ilmu.Jika orang meninjau dari jurusan keumuman, maka
terjelmalah kenyataan sebagai alam, jika ditijau dari jurusan individual, maka
terjadilah kenyataan sebagai sejarah.Kedua-duanya sebenarnya adalah
proyeksi.Jelaslah bahwa rickert menolak pendirian, bahwa ilmu sejarah harus
berusaha untuk mendapatkan hokum-hukum umum.hokum-hukum sejarah tidak mungkin
itu adalah pengertian berdasarkan pertentangan (kontradiksi).
Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang individual dan tak berulang
lagi tidaklahdapat dianggap sebagai peristiwa-peristiwa daripada aturan-aturan.
Individualitnya justru akan hilang. Ilmu sejarah harus membentuk
pengertian-pengertian dengan isi individual, demokrasi yunani, demokrasi
modern, renesanse caroling, renesanse itali, perang kemerdekaan belanda, perang
kemerdekaan amerika.Pada segala peristiwa ini bagi historikus (ahli sejarah)
ada sesuatu, yang membedakan masing-masing justru itulah yang harus
diperhatikannya.Pengertian-pengertian semacam itu dengan isi individual hanya
baru terjelm bila historikus memperhubungkan kejadian-kejadian yang
dilukiskanya dengan nilai-nilai.Ilmu kealaman melukiskan objek-objeknya
terlepas dari nilai-nilai.Dia tidak pernah berbicara dalam istilah-istilah baik
dan buruk.Didalam praktek para penulis sejarah ada melakukan hal itu, tetapi
menurut teori mereka harus menyatakan pertimbangan-pertimbangan baik atau
buruk.Luther Napoleon dan Hitler mempunyai arti sebagai pribadi-pribadi
sejarah.Pekerjaan mereka dapat ditinjau dari sudut nilai-nilai tertentu
(kemerdekaan, kemajuan, kesatuan, kekuasaan dan ketertiban).Mreka mungkin telah
memajukan nilai-nilai itu tetapi mungkin juga telah merugikannya. Dalam kedua
hal ini arti mereka sebagai pribadi-pribadi sejarah tetap tidak dapat
dipungkiri dan itulah satu-satunya yang
terpenting menurut teori. Menghubungkan peristiwa-peristiwa sejarh dengan
nilai-nilai adalah suatu perbuatan teori, menyatakan pertimbangan tentang baik
dan buruk adalah perbuatan praktek.Dengan ini sampailah kita pada
pertanyaan-pertanyaan yang hidup diantara segolongan filsuf-filsuf yang termasuk
filsuf-filsuf yang paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar