Selasa, 03 November 2015

alam fikiran dan kenyataan



ALAM FIKIRAN DAN KENYATAAN
A.    Neo-Kantianisme
Hampir semua orang ahli tentang filsafat dewasa ini sependapat bahwa filsafat ini adalah bersifat agak  membenci idealism, jadi mengandung tanda-tanda anti-idealisme. Mulai dari Plato sampai pada Husserl itu mempunyai pengaruh yang besar dalam filsafatbarat. Idealisme bukanlah suatu ajaran atau system tertentu yang diuraikan dengan pembatasan yang teliti, melainkan lebih merupakan keyakinan yang umum, sesuatu pendirian yang prinsipil, yang dapat dikemukakan menurut bermacam-macam cara. Pendirian ini memberi patokan bagaimana manusia menghadapi kenyataan, apa yang dianggapnya sebagai yang tetap, yang tak berubah, yang abadi dan apa yang sebagai kebetulan, yang tak hakiki, yang relatif dan yang fana (tak abadi). Barang siapa yang menganut idealism akan menerangkan kenyataan dunia menurut cara tertentu, dan bersamaan dengan itu diterangkannya pula tentang dirinya, sungguhpun barang kali tidak selalu disadarinya sungguh-sungguh. Dia tidak akan mengatakan, seperti seorang materialism,bahwa seluruh kenyataan itu pada akhirnya bersifat zat (materi) dan dapat dikembalikan kepada gerak dari bagian-bagian zat. Dia akan mengambil pendirian bahwa hakikat kenyataan itu bersifat rohani, bahwa selain dari dunia peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam waktu, ada dunia cita,yang tak terikat pada waktu, bahwa bukanlah zat yang pertama dan yang terakhir, melainkan roh, bahwa orang tak akan dapat menentukan apa yang disebut kenyataan, dengan tidak disuruh tentukan oleh akal fikiran. Seperti dikaitkan diatas idealism bukanlah system ajaran yang tetap dan tertentu.Segala system idealisme timbulnya dari sesuatu posisi yang prinsipil dari manusia yang berifkir berhubung dengan dirinya sendiri dan berhubung dengan kenyataan sekitarnya.Idealisme itu dapat dilanjutkan sedemikian rupa, sehingga sebenarnya tak ada lagi yang tinggal dari kenyataan diluar dari kita, sehingga tidak diakui sifat adanya kenyataan itu.Tetapi ini sebenarnya tidaklah menjadi keharusan, sungguhpun memang pernah kaum idealis yang radikal, yang seolah-olah mengambil kembali seluruh kenyataan kedalam keasadaran dan kedalam alam fikiran untuk kemudian dikeluarkan lagi dalam bentuk system filsafat.Ada pula kaum idealis seperti Plato yang membagi kenyataan dalam bagian (dualis) dan membuat pemisahan prinsipil antara dunia peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam ruang dan waktu dan dunia cita (ide) yang abadi. Tetapi ada pula kaum idealis seperti Hegel yang mengakui bahwa semuanya adalah cita, tetapi menambahkan pula bahwa cita itu tidaklah terlaksana diseberang sana dari dunia pengalaman,melainkan justru adalah didalamnya. Sebagai idealis orang dapat mengambil pendirian, bahwa dunia itu dua, dengan tidak menghubungkan kongklusi bahwa hanya satu dari dunia itu yang sebenarnya nyata ada dengan mendesak yang lain, yang dapat disebut dunia bajangan. Kant misalnya memang seorang dualis, tetapi dia tidak mengatakan bahwa dunia yang satu berarti segala-galanya dan yang lain sama sekali bukan apa-apa. Yang benar ialah bahwa dalam dunia yang satu kebebasan mungkin terjelmakan dan dalam dunia yang lain tidak, tetapi sebaliknya dalam yang lain itu ada sesuatu yang mungkin, yang tak ada dalam dunia yang satunya lagi, yaitu pengetahuan keilmuan yang pasti. Pengetahuan keilmuan itu tidak bersangkutan dengan dunia bajangan, melainkan dengan dunia peristiwa-peristiwa. Pengetahuan itu hanya menjelma, karena peristiwa itu diatur oleh roh yang kuasa mengetahui, karena roh itu mengadakan sintesis,sifat beraturan, pertalian dalam ketentuan-ketentuan yang kacau-balau, yang sampai kepada kita dari dunia luar dengan melalui pancaindera. Demikianlah kant itupun adalah idealis, tetapi adalah lain idealisnya dari ump. Uskup Irlandia, Berkeley, yang mengambil pendirian bahwa ada itu sama dengan diamati. Jadi filsafat dewasa ini sedikit banyaknya memperlihatkan ketidaksukaan terhadap idealisme dalam bentuk apapun juga, dan filsafat abad ke-20 juga sadar, bahwa ia berlainan dari filsafatabad ke-19. Abad-abad itu dalam kehidupan fikiran dan perasaan manusia sering kali mempunyai peranan sebagai kebesaran-kebesaran yang nyata ada, sebagai kekuasaan-kekuasaan yang konkrit, hampir-hampir sebagai individu-individu yang mengenal masing-masing sebagai saudara atau berlawanan satu sama lain sampai mati-matian. Dalam kenyataannya hal ini tentulah tak lain daripada perjuangan  yang berlangsung dalamkesadaran manusia. Bahwa filsafat abad ke-20 tak putus-putusnya memperbandingkan dirinya dengan filsafat abad ke-19 dan sering menyatakan protes terhadapnya, tidaklah lain artinya bahwa sejumlah orang dari masa sekarang yang berfikir-fikir dengan segala jerih payah mengambil sikap yang lain atau mendapatkan kongklusi-kongklusi yang lain daripada sejumlah manusia berfikir yang lain, yang berjerih payah juga seperti mereka di zaman yang lain. Jika filsafat abad ke-20 mengadakan tantangan terhadap filsafat abad ke-19 dan bersamaan dengan itu terhadap idealisme, maka idealisme dan abad ke-19 sudah tentu harus mempunyai pertalian satu sama lain. ini tidaklah sama artinya dengan jika masalahnya saja katakana, bahwa abad ke-19 adalah semata-mata abad idealisme. Jika sekiranya kita menemui kualifikasi semacam itu dalam buku-buku maka kita haruslah awas-awas.Orang suka memasang etiket-etiket pada barang-barang yang dihadapinya, agar dengan mudah dapat dikenalnya.Demikianlah pula manusia itu berhadapan juga dengan abad-abad, sungguhpun caranya tentu berlainan dengan menghadapi botol-botol. Dalam sebuah botol mungkin ada air soda atau spiritus didalamnya tak ada yang lain selain daripada air soda atau spiritus. Jika kita tidak yakin benar, maka kita propnya lalu kita cumi baunya. Air soda memang lain benar baunya dari spiritus. Dalam lapangan ilmu orang memperlakukan abad-abad itu juga seperti botol-botol. Celakanya hanyalah bahwa orang-orang ilmu tidaklah sepakat, apa yang harus dituliskan diatas etiket-etiket, sehingga timbullah kekacauan yang hebat dan sungguhpun mereka semuanya umpamanya menyebut-nyebut tentang abad ke-19, tetapi sebenarnya lain-lain yang mereka maksud. Sebab diatas etiket yang satu tertulis idealisme diatas yang lain materialisme diatas yang berikutnya pesimisme dan diatas yang lain lagi optimisme. Demikian juga berlain-lain ke-18, abad ke-17 dan abad ke-16. Tetapi orang harus insaf bahwa abad adalah pengertian yang abstrak, suatu nama untuk sesuatu yang sebetulnya tidak dapat disimpulkan dalam satu istilah.jika orang hendak bersih keras mempergunakan botol-botol tempat memasukannya maka botol-botol itu harus diisi dengan campuran-campuran dan disamping itu orang harus berjaga-jaga pula, oleh karena isinya senantiasa kan melimpah, sebab terlalu berbusa bagi tiap bentuk yang bagaimana pun juga. Idealisme, materialisme, optimisme, pesimisme, dan yanglain-lain lagi semuanya dapat ditemukan dalam abad ke-19. Abad ini bukanlah abad mutlak tentang sesuatu menyampingkan yang lain. juga seorang manusia tidaklah mempunyai hanya satu sifat watak, tetapi wataknya dibentuk oleh sifat-sifat yang beragam-ragam. Jika orang hendak mencapai juga pembedaan yang bertanggungjawab menurut ilmu, jadi mengenal satu-satu abad yang berturut-turut itu, maka haruslah orang menyiasati peranan yang dilakukan oleh bermacam-macam sifat, ciri, pendirian, dan sikap didalamnya dan barulah dengan sangat berhati-hati dan waspada, orang mungkin mencapai kongklusi bahwa bagi zaman yang dimaksud itu salah satu daripada ciri-ciri yang lai-lain. Berhati-hati secara keilmuan terlalu sering benar diabaikan.Kadang-kadang memang sikap kurang hati-hati lebih menarik perhatian dan dengan sikap demikian orang membayangkan kepada pembaca atau pendengar seolah-olah soalnya lebih mudah dan kurang ruwet daripada yang sebenarnya.Jadi tidak lebih yang hendak kita katakana daripada bahwa idealisme mempunyai peranan tertentu dalam abad ke-1, bahwa idealisme adalah merupakan suatu kekuatan rohani yang ikut memberi bentuk pada abad itu. Siapa yang tidak mengakui hal ini haruslah pula tidak mengakui bahwa dalam abad itu tak pernah hidup seorang ahli fikir  macam Hegel atau orang harus sangggup membuktikan bahwa Hegel itu bukan seorang ahli fikir atau bahwa Hegel itu bukan sama sekali tak mempunyai pengaruh. Pada masa Hegel alam fikiran idealisme mencapai puncak perkembangannya dalam bentuk tinjauan dan bentuk spekulasi.Tetapi ini bukanlah pernyataan yang penting dari anti-idealisme, malahan ada kelihatan tanda-tanda yang menyatakan bahwa penulis phanomenologie des geistes itu kini mulai lebih dihormat lagi oleh filsuf-filsuf dewasa ini. Bentuk yang penting dari idealisme, yang ditentang oleh filsafat abad ke-20, bukanlah berhubungan dengan nama Hegel,melainkan dengan nama Kant. Yang disebut Neo-Kantianisme itulah, yang mulai dari kira-kira tahun 1860 sampai kira-kira 1920, amat mempengaruhi alam fikiran filsafat dismeua negeri barat. Justru apabila kita telah agak mengenal Neo-Kantianisme, maka sangguplah kita mengetahui bagaimana hebatnya perubahan posisi-posisi terpenting dari alam fikiran zaman sekarang bila dibandingkan dengan Neo-Kantianisme itu.Berbagai aliran yang muncul dalam puluhan tahun terakhir ini, seperti pragmatism dan filsafat hidup, neo-positifisme dan fenomenologi, eksistensialisme dan metafisika baru menyatakan kritik terhadapnya. Malahan mereka menganggap cara kaum neo-kantianisme berfilsafat adalah lebih kurang seperti sesuatu cara yang sudah usang, seperti sesuatu yang tidak diaktuali lagi dan tidak dapat memberi kepuasaan lagi. Orang menghendaki dari filsafat sesuatu yang lain yang dicita-citakan dan yan dijadikan tujuan filsafat kaum neo-kantianisme. Itulah maka praktis orang tidak lagi mempersoalkan tulisan-tulisan mereka, dan seorangpun tidak ada lagi dari kaum neo-kantian yang terkemuka yang masih hidup: Wilhelm windelband meninggal tahun 1915, Hermann Cohen tahun 1918, Paul Natorp tahun 1924, Heinrich Rickert tahun 1936, Ernst Cassier tahun 1945. Hal ini barang kali tidak terlalu penting, tetapi yang lebih penting ialah bahwa tak seorangpun dari pemuka-pemuka tersebut mendapat pengikut yang sama pengaruhnya dengan mereka. Bahkan sewaktu mereka hidup aliran yang diwakili mereka telah menunjukan garis yang menurun dan mereka harus lebih giat mempertahankan diri terhadap pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat yang baru muncul, dan pada umumnya hal itu dilakukan mereka dengan ketangkasan dan kecerdasan yang ulung.Bahwa antara Neo-Kantianisme antara kedua perang dunia lebih hebat mengalami serangan, pasti ada hubungan dengan krisis subjektivisme, idealisme dan rasionalisme, yang waktu itu mulai berjangkit dengan hebatnya dan makin lama makin menjalar. Sudah barang tentu krisis itupun berhubungan pula dengan sesuatu yang lain pula, ia tidak jatuh begitu saja dari langit sebagai sesuatu kegemaran intelek atau kesusilaan. Dalam pendahuluan telah dibicarakan tentang hal ini seperlunya. Bahwa suatu filsafat tertentu ada hubungannya dengan masyarakatnya ditempat ia muncul, oleh idealis Hegel pun malah di insyafi juga seperti dapat terlihat dari ucapannya yang mashur, bahwa tiap-tiap filsafat adalah zamannya yang tersimpul dalam buah fikiran. Jika pendapat-pendapat filsafat berubah, maka hanya untuk sebagian saja perubahan itu disebabkan oleh sebab-sebab diselidiki, pendapat-pendapat itu mengikuti perubahan-perubahan dari keadaan-keadaan umum dan pertalian peristiwa dan dari suasana kerohanian tempat manusia itu hidup. Pendapat-pendapat itu tidaklah berubah karena orang berangsur-angsur ataupun secara tiba-tiba insyaf, bahwa pendapat itu salah atau tak dapat dipertahankan lagi, sebab: mengapa orang tak akan mengetahuinya apabila hal itu sudah muncul? Pendapat-pendapat itu berubah, karena tidak lagi memberikan apa yang dikehendaki oleh manusia dari filsafat dalam situasi yang baru,karena manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan maksud-maksud yang baru dan memilih pokok pangkal yang lain untuk mendapatkan jawabannya. Kira-kira tiga puluh empat puluh tahun yang lalu dalam lingkungan yang sangat luas orang masih berfilsafat menurut corak neo-kantian dan  kebanyakan pelajaran-pelajaran filsafat di akademi-akademi bukan saja dijerman, melainkan juga di luar negeri tersebut( negeri belanda), diberikan oleh wakil-wakil dari aliran ini. Hal ini sudah lampau secara radikal dan hasil-hasil fikiran dari kaum neo-kantian itu sekarang boleh dikatakan hanya masih dibaca oleh mereka yang mempunyai minat terhadap sejarah filsafat.Sekarang orang membaca Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel, Whithead, Russel, Bergson dan kaum kaum neo-kantian telah dilupakan, mereka boleh dikatakan sudah termasuk barang antik.Sekalipun Neo-Kantianisme sendiri pernah luar biasa  modernnya dan sendiri pernah merupakan suatu gerakan penentang yang kuat, yang juga mengadakan protes dan tantangan terhadap keadaan kerohanian dari tengahan kedua dari abad ke-19, yang dianggapnya sebagai bahaya yang akan mematikan filsafat. Yang dimaksud itu ialah keadaan kerohanian dan positivisme materialis.Positivisme materialis ini sebenarnya mau meleburkan seluruh filsafat kedalam ilmu kealaman, suatu contoh yang besar dan ideal dari pengetahuan kenyataan yang ekak. Untuk memahamkan itu hendaknya orang mengetahui bahwa ilmu-ilmu kealaman yang meletakan pengetahuannya dalam hokum-hukum yang dirumuskan secara ilmu pasti, sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan kultur barat. Pengaruh itu mungkin mengalahkan factor-faktor lain, yang telah pernah memberi corak pada kultur tersebut. Penyelidikan alam dan mempraktekan pengetahuan yang didapat daripada penyelidikan tersebut dalam masyarakat jauh lebih penting daripada studi tentang sejarah manusia. Artinya manusia barat lebih intensif dan lebih menurut metode melakukan penyelidikan tentang yang ada di sekitarnya,yaitu kenyataan yang terpapar, daripada kenyataan sejarah dan kultur dalam pengertian umum yang diadakannya sendiri dan yang selalu berubah-ubah. Dibarat lama orang seolah-olah menyembah dan memuja ilmu-ilmu kealaman.Hanya metodenyalah yang berlaku sebagai metode keilmuan yang sebenarnya dan hanya pengetahuan yang dihasilkan ilmu tersebut yang dianggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya, yang tetap, dan tak berubah-ubah.Sebab hanya inilah yang membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa alam dikuasai oleh hokum-hukum yang tak dapat di tumbangkan.Jika orang hendak menyelidiki kenyataan yang lain macamnya, dengan cara ilmu pula maka orang harus pulalah berusaha mencari hokum-hukumnya. Jika telah diketahui, bahwa segala peristiwa bukan saja dalam alam melainkan juga dalam sejarah dan dalam masyarakat (pergulan hidup) berlangsung menurut hukum-hukum yang tetap, maka kenyataan itu tidaklah dapat membawa kita kepada hal-hal yang tak terduga-duga, sehingga dapatlah kita memperhitungkan bagaimana akan dijalannya peristiwa itu selanjutnya. Pengetahuan ialah kuasa, mengetahui ialah melihat ke depan. Bangsa dan jenis bangsa (ras), yang memiliki pengetahuan ini berpengaruh didunia.Sejarah sendiri telah membuktikan hal ini. Maka dalam abad ke-19 lama pula filsafat berada dalam bahaya akan tertinggal dari ilmu-ilmu khusus. Semakin banyak muncul ilmu-ilmu khusus, semakin kecil rupanya tempat yang tinggal baginya. Tiap-tiap lapangan diolah oleh spesialis-spesialis masing-masing sehingga apalagi yang akan diperbuat filsafat? Untuk memulai lagi dari diri sendiri rupanya tak masuk akal.Paling dia hanya dapat meneruskan usahanya dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu khusus itu dan mencoba menghimpunkannya dalam suatu system.Tetapi hasil-hasil itu adalah bahan yang tak dapat diperlukan untuk pekerjaan mereka.Jadi filsafat boleh dikatakan selalu harus berjalan dibelakang ilmu-ilmu khusus. Maka adalah salah satu jasa yang besar dari Neo-Kantianisme yang mewujudkan bahwa pendapat diatas itu berdasarkan kekhilafan .ilmu-ilmu itu tidaklah dapat puas dengan dirinya sendiri seperti yang mereka kira. Pertanyaan-pertanyaan yang mengenai filsafat bukanlah sambungan daripada pengetahuan, yang dikumpulkan oleh ilmu-ilmu itu, melainkan mendahuluinya.Pertanyaan-pertanyaan itu adalah prinsipil.Pertanyaan-pertanyaan itu tidak tertuju pada penyusunan dan penghimpunan hasil-hasil dari bermacam-macam ilmu, melainkan tertuju pada kemungkinan ilmu itu sendiri.Ilmu-ilmu itu masing-masing berpokok pada pendapat, bahwa ilmu itu memang mungkin dan tidak saja mungkin melainkan juga nyata, itu sudah dianggap pasti.Tetapi bagi filsafat itu adalah merupakan suatu persangkaan (pengiraan), suatu pokok pangkal yang harus diselidiki lebih lanjut. Ilmu-ilmu itu mempelajari benda-benda,objek-objek dan lingkungan-lingkungan kenyataan masing-masing dan mereka yakin bahwa mereka memperoleh pengetahuan tentang hal itu. Tetapi apa pengetahuan itu sebenarnya, bagaimana kemungkinan adanya pengetahuan itu, bagaimana kerjanya, apa sebenarnya kenyataan itu dan apa sebenarnya pertaliannya antara roh yang mengetahui dan benda yang diketahui itu semuanya bukan soal-soal bagi ilmu, melainkan adalah soal-soal filsafat. Demikianlah maka filsuf-filsuf berkata bahwa ilmu-ilmu itu agak naïf.Itu bukanlah saja pendirian kaum Neo-kantian melainkan ump, juga pendirian Husserl, pendirian mazhab fenomenologi.Ilmu-ilmu bersendi pada titik pangkal yang diterima mereka sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya.Mereka bekerja dengan perkiraan-perkiraan yang tidak diselidiki lebih lanjut.Tetapi dengan itu saja seorang filsuf tidaklah merasa puas.Ilmu-ilmu mempelajari bermacam-macam objek.Tapi ilmu itu sendiri menjadi objek bagi renungan filsafat. Ilmu-ilmu tidak bertanya akan kemungkinannya sendiri, tdiak ditanyakan oleh mereka bagaimana mungkin mereka ada, artinya bagamana mungkin manusia mempelajari ilmu. Ini sungguh-sungguh pertanyaan filsafat.Inilah yang menjadi pokok bagi teori atau kritik ilmu-ilmu.Bahwa ilmu-ilmu itu naïf, berarti bahwa ilmu-ilmu itu sendiri tidak memeriksa dirinya sendiri dan sendi dasar tempat mereka berdiri, dengan tinjauan kritik. Tapi filsafat tidak pula bermaksud hendak mewujudkan bahwa ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mempunyai dasar, melainkan bahwa dasar-dasar itu oleh ilmu-ilmu itu sendiri tidak dijelaskan atau dinyatakan, sehingga ilmu-ilmu itu boleh dikatakan tak sadar akan adanya dasar itu. Ilmu-ilmu itu berorientasi pada objek-objek, tetapi soalnya bagaimanakah berorientasi itu sendiri mungkin?Apakah suatu keharusan untuk mengira bahwa objek-objek itu ada dalam suatu kenyataan, yang adanya tidak bergantung pada kesadaran, tegasnya suatu lapangan yang berdiri sendiri, dimana boleh dikatakan objek-objek itu dapat kita jumpai atau dapat kita cari?Apakah kenyataan itu lepas dan tidak bergantung pada kenyataan, dan apakah ilmu mempelajari struktur kenyataan itu? Haruskah orang bermula dari titik pangkal tersebut untuk dapat memahamkan apa ilmu itu dan bagaimana dia mungkin?.Kaum Neo-Kantian menjawab bahwa ini tidaklah menjadi keharusan.Mereka bukan realis dan mereka menolak metafisika yang lama. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang melanjutkan kant, sebagai ahli warisnya dan dalam beberapa hal juga sebagai pengoreksi terhadap kant. Seperti diketahui kant mempunyai pendirian bahwa dunia benda-benda itu sendiri. Tidak dapat tercapai oleh pengetahuan teori.Lapangan yang dimasuki ilmu adalah lapangan yang terbatas, yaitu berupa keseluruhan dari peristiwa-peristiwa. Dengan menggunakan pengertian-pengertian akal tak dapat orang membuat gambaran dan memperoleh pengetahuan dari dunia yang sebenarnya, seperti rupa yang sebenarnya, lepas dari apa yang difikirkan dan dibuat daripadanya oleh roh yang mengetahui. Kaum Neo-Kantian tidak mencoba menentang air pasang materialisme dan positivisme (Husserl nanti akan menyebut naturalismesebagai sikap rohani yang harus direntang oleh filsafat sejati) menyusun system metafisika yang baru, semacam gambaran intelektual tentang kosmos, dalam pusat perhatian mereka terpanjang pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran ilmu. Pertanyaan akan kebenenaran tidaklah hendak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang apa wujud apa yang ada dalam arti yang nyata (realis). Jika sesuatu itu benar, berarti bahwa sesuatu itu berlaku bahwa dia mempunyai sifat berlaku.Jadi soalnya bukan soal wujud (ada) tetapi soal berlakunya, dan dimana dengan soal yang diucapkan bahwa sesuatu itu berlaku? Tidak lain dari pada oleh dan sebagai pertimbangan. Pertimbangan bukan sesuatu diluar roh yang mempertimbangkan, melainkan ada kegiatan dari roh yang mempertimbangkan itu.Bagaimana rupanya pertimbangan itu, bagaimana bentuknya, apayang diucapkannya, itu tidaklah ditentukan oleh kenyataan objektif, yang terlepas dan berhadapan dengan roh.Malahan halnya adalah sebaliknya bukanlah kenyataan dalam arti seperti ini yang menentukan pertimbangan, melainkan pertimbangan itulah yang menentukn kenyataan.Pertimbangan atau lebih tepat mempertimbangkan itu adalah aktivitas, kegiatan dari fikiran.  Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan btu tidak mempertimbangkan, tetapi manusia mempertimbangkan tentang semua itu. Jika pertimbangan itu disimpan dalam pusat penyelidikan-penyelidikan filsafat, maka itu sama artinya dengan menaruh hal berfikir itu ditengah-tengah. Berfikir itu ialah brfikir menurut logika, berfikir menurut  ilmu, berfikir menurut metode. Neo-Kantianisme hendak mengetahui apa syarat-syaratnya yang logis bagi pengetahuan yang dihasilkan oleh perantaraan serta kegiatan fikiran. Jika orang telah menemukan syarat-syarat yang logis itu, maka tahulah pula orang sekali  apa yang memberikan objektivitas kepada fikiran. Ditinjau demikian maka fikiran, pertimbangan, kebenaran, objektivitas termasuk lapangan persoalan yang satu itu juga. Jika orang berbicara tentang yang satu, maka sampai pula orang pada yang lain. Dapat pula disebut bahwa filsafat Neo-Kantianisme itu bersifat subjektif, seperti kata Heinemann. Tetapi orang haruslah pula mengetahui benar apa yang dimaksud. Dalam pendahuluan telah diuraikan bahwa subjetivisme adalah pengertian yang umum dan samar-samar yang dapat diartikan berlain-lain.sebentar dia muncul dalam bentuk ini, kemudian dalam bentuk lain pula. Hal demikian terdapat pada segala isme. Seperti yang dikatakan oleh Bohenski dengan tepat, kaum Neo-Kantian tidak pernah mengatakan, bahwa dunia itu adalah terletak dalam kepala orang yang memikirkannya, juga tak pernah mereka berkata bahwa dunia itu dalam kepala yang satu jauh berlainan rupanya dari dalam kepala yang lain. itu adalah pendirian solipsism yang meninjau dunia itu dari pendirian satu-satu individu. Jadi tiap pertalian dan pertukaran fikiran antara manusia-manusia tidaklah mungkin. Subjektivitas yang menjadi pokok pangkal bagi Neo-Kantian bukanlah subjektivitas individu, melainkan subjektivitas umum, seperti juga yang dimaksud oleh kant. Subjektivitas bukanlah suatu tong atau arus dari bermacam isi (kesan-kesan, penginderaan-penginderaan, pengamatan-pengamatan, tanggapan-tanggapan, ide-ide) yang senantiasa silih berganti dan berdesak-desakan, melainkan suatu keseluruhan, suatu rangkaian prinsip-prinsip formil, suatu rangkaian asas-asas bentuk apriori. Jika orang menanyakan dasar dari kebenaran dan dari objektivitas dan kepastian keilmuan, maka orang tak akan terbentur pada isi, melainkan pada bentuk. Bentuk-bentuk dapat ditinjau lepas dari pertanyaan isi apa yang terkandung didalamnya. Jika kaum Neo-Kantian berkata tentang kesadaran, maka tidaklah pula mereka maksudkan kesadaran yang kongkrit, yang nyata atau yang khusus.Proses-proses yang berlangsung dalam kesadaran, diselidiki oleh psikologi.Kaum Neo-Kantian tidak saja bercorak anti-metafisika, melainkan juga anti-psikologi.Artinya mereka tidak mengakui bahwa psikologi itu memberikan dasar, yang mungkin dipergunakan untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filsafat sejati. Juga Husserl berpendirian demikian dan tidak mau tahu sedikit juga tentang psikologi, jika mengenai pertanyaan apa logika itu atau apa sebenarnya pengetahuan itu. Jika yang menjadi persoalan ialah berlakunya atau benarnya pertimbangan, maka soal berlakunya, soal sebenarnya itu tidaklah dapat dijabarkan dari perhubungan atau teraturnya peristiwa-peristiwa atau proses-proses tertentu dalam kesadaran.Peristiwa-peristiwa kesadaran adalah bersifat peristiwa feitelijk.Dari pertalian antara ketentuan-ketentuan yang bersifat peristiwa tidak dapat dijabarkan soal berlakunya.Soal berlakunya terletak dilapangan yang prinsipnya berlainan.Jika orang melupakan perbedaan ini maka orang membuat sesuatu kesalahan, yang disebut orang yunani.Kaum Neo-Kantian seperti ternyata dari segalanya adalah kaum idealis.Idealism itu umumnya berpokok pangkal bahwa roh atau kesadaran yang berfikir lebih dahulu daripada wujud.Yakni bahwa orang tak dapat berbicara tentang wujud, kenyataan, kebenaran atau objektivitas wujud itu diluar fikiran (pertimbangan) melainkan semata-mata berpangkal pada fikiran itu.Kaum Neo-Kantian adalah kaum idealis transendental.Mereka tidak menggunakan metode penyelidikan secara empiris yang bersandar kepada peristiwa-peristiwa pengalaman, melainkan metode transcendental.Metode transcendental harus menjelaskan ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat mutlak untuk mungkinnya pengalaman empiris itu sendiri. Ketentuan-ketentuan itu sendiri tidak bias diperdapat dari pengalaman, sebab kalau begitu, maka tidak mungkin ketentuan-ketentuan itu bisa menimbulkan pengalaman. Akan tetapi sebaliknya ketentuan-ketentuan itu tidak memegang peranan diluar pengalaman, melainkan didalamnya.Jika ada tersebut tentang pengalaman, mereka tidak bersifat aposteriori, melainkan mereka mengandung syarat-syarat formil dari segala pengalaman, mereka bersifat apriori.Jika orang hendak menentukan bagaimana hal-tahu atau hal-mau itu mungkin, maka haruslah orang seakan-akan pergi kembali ke balik pengalaman itu.Dapat juga dikatakan orang harus menembus pengalaman itu sampai kelingkungan atau lapisan yang dalam, dimana terdapat syarat-syarat yang dapat memungkinkan pengalaman itu sendiri.Kaum Neo-Kantian mencari syarat-syarat logika daripada hal-tahu dan hal-mau, hal menyelidik dan hal bertindak.Tidaklah dapat orang berkata secara naïf tentang dunia sebagai sesuatu hal objektif.Dunia sebagai objektivitas, kata kaum Neo-Kantian, sebenarnya baru terjadi dalam pertimbangan, sebagai hasil dari kesadaran yang mempertimbangkan.Dia adalah sintesis.Mengetahui bukanlah mencekau kenyataan yang sudah siap tersedia begitu saja.Mengetahui ialah sebetulnya mencipta, menciptakan kenyataan baru.Sesuatu hal, sesuatu objek, sesuatu pertalian, sesuatu peristiwa ada jika pertimbangan menyatakan dan menentukan bahwa hal itu ada. Dibalik apa yang dinyatakan dalam dan oleh pertimbangan, yakni kenyataan objektif yang dihasilkan tidak ada lagi terletak kenyataan kedua. Dunia  yang lain sebagai suatu hambatan yang tidak akan dapat direbut oleh pengetahuan. Hambatan yang kukuh itu adalah dunia. Objektivitas yang dirumuskan oleh pengetahuan tidak ada terdapat kenyataan, yang mengendalikan fikiran atau tempat fikiran harus berpangkal mula, seperti penginderaan yang masih diakui sebagai sumber pengetahuan oleh kant. Jadi disatu pihak terlepas dan dipihak lain penginderaan yang bersangkutan dengan sifat pancaindera. Yang tinggal dan yang tampil sebagai absolutum yang baru dan yang satu-satunya ialah fungsi fikiran formil sendiri.Maka itu ada dikatakan orang, bahwa kaum Neo-Kantian adalah pemikir bentuk apriori sejati. Neo-Kantianisme terpecah menjadi dua aliran utama yaitu Yng dinamakan orang mazhab Marburg (menurut kota universitas Marburg di jerman) dan mazhab baden tau mazhab jerman barat saja. Juru bicara kedua aliran ini bekerja di Marburg, Freiburg dan heidelburg sebagai guru besar filsafat.Neo-Kantianisme adalah filsafat akademi sejati, aliran besar terakhir yang mengusai pengajaran filsafat pada kebanyakan perguruan tinggi besar-besar.Mazhab Marburg  wakil yang paling berkuasa dari aliran ini adalah Herman Cohen (1942-1918), paul natorp (1954-1924), dan ernest cassier (1874-1945). Filsafat mereka pada asasnya berorientasii pada ilmu-ilmu kealaman matematika, seperti juga kritik der reinen vernunft nya.Ilmu-ilmu ini mewakili perkembangan puncak dari cita-cita pengetahuan, yang menyekamkan pengaruhnya dengan hebat pada peradaban barat abad-abad yang terakhir ini. Pengetahuan itu yang tidak hanya dikejar saja tetapi juga telah tercapai, ialah berupa pengetahuan yang terkenal dengan kepastiannya, objektivitasnya, ketelitiannya dan karena ia sah berlaku secara umum. Kaum Marburg sekarang mencoba mewujudkan sekonsekuen-konsekuennya, bahwa hal yang akhir itu dapat mungkin, bukan karena kenyataan yang terletak diluar kesadaran (alam-fikiran) itu memperhatikan sifat-sifat tertentu, yang menyebabkan terjadinya kepastian. Demikianlah cohen berkata kepercayaan akan nilai berlakunya ilmu terletak pada hipotesis dari unsur-unsur yang ganjil dan ciri-ciri itu? Semua itu tidaklah terletak terbuka begitu saja, sehingga dapat dilihat setiap orang melainkan seolah-olah harus dikeluarkan dari tempat terpendam. Artinya bukanlah dari lubuk bawah sadar atau dengan jalan menggunakan salah satu cara pengobatan, kaum Marburg bukanlah ahli psikologi melainkan ahli filsafat. Mereka tidaklah memakai metode psikologi melainkan metode transendental.Sedikitpun mereka tidak bersangkut paut dengan bawah sadar.,ereka mementingkan hal bentuk, struktur dari kesadaran yang berfikir itu sendiri. Karena kesadaran itu tersusun menurut cara tertentu, maka itulah kepastian pengetahuan itu mungkin. Prinsip-prinsip, asas-asas bentuk dari kesadaran yang berfikir adalah syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan, dan prinsip-prinip ini adalah yang logis rasionil.Kenyataan objektif bukanlah kenyataan yang ditentukan oleh yang ada diluar alam-fikiran, melainkan adalah kenyataan yang ditetapkan oleh alam fikiran sendiri sebagai objektivitas yang ditentukan sebagai kenyataan itu sendiri. Wujud adalah difikirkan bukan difikirkan oleh bermacam-macam subjek menurut berbagai-bagai cara melaikan difikirkan oleh subjektivitas umum, dan ini berarti difikirkan oelh fikiran. Onjek-objek tidaklah ditentukan.Mereka disediakan bagi alam fikiran, mereka menjadi tugas, menjadi soal.Alam fikiran harus menghasilkan objek-objek itu.Kaum Marburg meletakan tekanan yang paling besar pada fungsi produktif inii dari fikiran. Hanya fikiran yang dapat menhasilkan yang sah berlaku sebagai wujud, begitulah menurut pendapat cohen. Demikianlah fikiran itu dapat disebut pencipta dan Pembina dunia. Dunia ini sebagai dunia objektif, tidak lain daripada kesatuan yang logis-sistematis dari pengetahuan yang bersifat keilmuan. Kant seperti dikatakan telah membatasi atau melingkari alam fikiran atau rasio pada dua jurusan: kebawah, boleh disebut dengan mengemukakan, bahwa alam fikiran harus menggunakan material pancaindera dari pengalaman dan keatas dengan melepaskan pengetahuan tentang benda itu sendiri daripadanya. Kaum Marburg tidak mau menerima batas-batas ini sebagai batas-batas yang pasti dan tak berubah-ubah. Hal tahu bukanlah peristiwa bukanlh factum tetapi adalah suatu perjanjian, suatu proses, suatu fieri. Dalam berlangsungnya proses ini batas-batas itu berangsur mundur. Mundur kebelakang karena desakan predikatif dari alam fikiran mengetahui adalah menetapkan, menentukan secara logis. Pada kant benda itu sendiri masih terletak ditempat yang lain, diseberang daerah yang dapat diketahui, jadi sebagai sesuatu yang pada prinsipnya tidak akan dapat diketahui. Kaum Neo-Kantian tidak suka berbicara tentang benda semacam itu.Apa yang oleh kant masih disebut benda itu sendiri bagi mereka menjadi sesuatu yang ditetapkan seluruhnya artinya benda yang diketahui. Yang tidak di ketahui bukanlah yang prinsipil tidak dapat diketahui, melainkan adalah yang belum seluruhnya diketahui. Ding an sich itu kehilangan sifatnya sebagai benda. Dia mempunyai fungsi pengertian batas, yaitu tujuan yang harus dicapai oleh pengetahuan secara metode.Kita kenali sesuatu benda sebagai benda itu dengan dijalan memegangnya dalam fikiran kita sebagai benda itu juga.Berfikir adalah berfikir menurut tuntutan kesatuan logika dan tidak berbahan. Jika kenyataan itu diketahui maka itu berarti bahwa fikiran itu telah membuat dari relasi-relasi logika suatu jaringan yang di dalamnya satu sama lain saling bersangkutan. Sendi dari pertalian ini semata-mata ditentukan oleh prinsip-prinsip kesadaran yang berfikir itu sendiri. Mengetahui adalah proses yang kontinu (tak terputus) dari penjelmaan sesuatu yang ditentukan menjadi yang difikirkan, dari yang tidak tentu menjadi yang tentu dan bersama itu dari kesadaran yang individual menjadi kesadaran yang umum,rasio yang umum. bukan pengalaman yang mengusai fikiran, melainkan fikiran yang mengusai pengalaman. Fikiran itu malahan dapat menjelmakan benda-benda secara metode.,objek-objek yang tak terdapat dalam pengalaman. Ilmu-ilmu matematika membuktikan tentang daya ini contoh-contoh yang paling luhur (angka imajiner atau chajali, hal tidak berhingga). Filsafat cohen bersifat rasionil semata-mata dan bersama itu juga bersifat idealis semata-mata. Dalam kedua hal ini kant masih diatasinya pula. Ding an sich yang masih berbunyi agak realis disingkirkannya juga. Kegiatan pusat dari fikiran bukanlah sintesis, sebab itu masih selalu mengingatkan, pertalian dengan sesuatu, yang ditentukan atau yang disugukan kepada fikiran dari luar.Kegiatan pusat dari fikiran ialah menghasilkan, menciptakan, memproduksikan.Berfikir adalah berfikir dari asal mula.Segala pertimbangan bergerak menurut arah-arah tertentu yangdisebut kategori-kategori. Ini bukanlah pengertian-pengertian yang aangeboren melainkan dapat disebut dimensi-dimensinyang diadakan oleh fikiran logis, aspek-aspek yang ditimbulkannya: identitas, bantahan, kemungkinan, kenyataan, keharusan, kesatuan, dan keragaman. Fungsi kategori dari fikiran ini tidaklah terpisah satu sama lain, tetapi masing-masing menentukan yang lain. filsafat idealis sejati tidaklah mempelajari bend-benda atau kejadian-kejadian melainkan peristiwa-peristiwa keilmuan, peristiwa ilmu itu sendiri. Logika adalah ajaran alam fikiran yang murni, yang bergerak maju bebas dari pengalaman.Demikian pula etika adalah ajaran kemauan yang murni dan estetika adalah ajaran perasaan yang murni.Apakah kemauan murni yang diajarkan oleh etika itu?Yaitu kemauan sebagai penghargaan terhadap kewajiban, dan apakah kewajiban itu? Kewajiban adalah apa yang sewajarnya. Jadi etika itu harus menyelidiki syarat-syarat dari kesewajaran itu, seperti logika, syarat-syarat dari fikiran keilmuan, dan juga etika bebas dari pengalaman, sebab seperti tipe dikatakan oleh cohen: pengalaman memperlihatkan apa yang ada dan bukanlah apa yang sewajarnya harus ada. Pengalaman hanya memperlihatkan bagaimana manusia bertindak tetapi bukanlah menurut ukuran mana mereka sewajarnya harus bertindak supaya bertindak dengan baik. Yang aneh pada cohen yaitu bahwa etika itu pada satu pihak dianggap amat berdasarkan rasio dan apriori, sedangkan sebaliknya dipihak lain mempunyai corak yang benar-benar sosial dan human. Peri kemanusiaan menjadikan cita sentral daripadanya. Paul Natorp mengatasi cohen bukan saja dalam kejelasan melainkan dalam kedalaman dan kelincahan gerak. Dia juga tipe seorang Neo-Kantian.Tetapi soal-soal yang harus dipertahankan terutama dalam tahun-tahun yang akhir dalam hidupnya, mempunyao tenden yang demikian universal, sehingga menembus batas-batas daerah, dimana fikiran-fikiran Neo-Kantian biasanya bergerak. Cohen telah berusaha dengan susah payah untuk memasukan etika, estetika, dan lebih-lebih agama kedalam sistemnya yang formalis. Pada natorp ada pengaruh hegel dan fikirannya yang spekulatif jelas tampak dalamnya. Menyelesaikan soal agama ditinjau dari sudut rasio rupanya tidak lagi memberi kepusan kepadanya.Dia mencoba mengembangkan ajaran logos yang universal, dimana logos keilmuan ada mengambil sesuatu tempat tetapi tidak lagi mengambil tempat yang pusat. Pertanyaan akan sahnya pertimbangan-pertimbangan keilmuan umpamanya harus memberikan tempat kepada pertanyaan yang lebih dalam tentang arti dari kenyataan yang seluruhnya. Dengan cara ini natorp mencoba melepaskan diri dari sesuatu formalism, daripada pendirian yang bergerak dalam relasi-relasi terbuka. Metode yag kritis transcendental harus menyingkirkan diri atau mengambil tempat yang lebih rendah daripada cara tinjauan yang lebih dialektis-metafisis. Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pada natorp Neo-Kantianisme telah mengatasi dirinya sendiri.Tetapi yang tipe bagi pendirian Neo-Kantian bukanlah karangan-karangan natorp yang kemudian, melainkan buku-buku yang telah membuatnya sangat terkenal, seperti tentang dasar-dasar logika, dari ilmu-ilmu eksak dan tentang ajaran cita dari plato yang dicobanya untuk memperlihatkan bahwa ide-ide plato tidaklah lain daripada keteraturan hokum yang berlaku dari fikiran logis. Seperti cohen, natorp pun bersandar pada kesatuan dalam dari pengetahuan (keilmuan) yang menuju gambaran dunia yang tertutup, seperti yang hendak dijelmakan oleh ilmu kealaman. Mengetahuiialah berfikir, berfikir ialah menetapkan, mendeterminasikan, juga pengamatan berdasarkan penetapan oleh fikiran.Tidak ada dunia pengamatan diluar aspek kuantitas, kualitas, relasi.Objek itu bukanlah diluar melainkan didalam alam fikiran. Itulah kritisisme sejati, tidak palsu, sedang dogmantisme berarti: berpokok pangkal pada objek sebagai sesuatu yang ditentukan, yang mendahului fikiran, tempat fikiran itu terbentur. Lebih dari cohen, maka natorp meletakan tekanan pada dinamik dan pada tidak tertutupnya fikiran atau lebih tepat tidak tertutupnya pengetahuan keilmuan. Peristiwa dalam arti kata yang mutlak adalah hal yang terakhir yang akan dapat tercapai oleh pengetahuan, tetapidalam kenyataan ia tak pernah tercapai, ia yang abadi bagi pengetahuan. pertimbangan tentang sesuatu peristiwa harus terbuka untuk dikoreksi, pendapat ini sebagai asas dari revisibiliti seperti telah dikemukakan pula dalam pendahuluan, dalam lingkungan-lingkungan filsafat tertentu pada masa kini menjadi pusat perhatian. Tidak dapat dikenalnya ding an sich bagi natorp seperti juga bagi cohen. Ialah karena sekalipun pengetahuan itu memang senantiasa bertambah dan batasnya memang agak bergeser, namun tidak pernah Ia akan dapat terjadi secara definitive dan kemudian lantas terhenti. Adalah pendapat terbesar dari plato, kata natorp bahwa pengetahuan keilmuan terletak dalam suatu proses yang tak berakhir tentang pembatasan sesuatu yang tak terbatas. Titik mula atau titik akhir yang mutlak tidak akan ditemukan didalamnya. Tiap-tiap permulaan ini relative.Dibawah permulaan itu selalu dapat dicari permulaan dulu dan diatas tiap-tipa penutupan relatif muncul pula yang lebih definitive.Tiap-tiap sentrum (pusat), dimana fikiran itu hendak memusatkan dirinya, dapat dikorbankan dalam usaha mencari sentrum yang lebih sentral.Jadi tidaklah dapat lagi orang berbicara tentang sesuatu peristiwa dalam arti pengetahuan tertutup. Malahan sebaliknya tiap-tiap pengetahuan, yang mengisi sela-sela kosong dalam pengetahuan yang tercapai, akan menimbulkan soal-soal baru yang lebih besar, atau untuk memakai perbandingan dari spencer (1802-1903) seperti halnya dengan sebuah bola yang radiusnya bertambah panjang sampai tak berhingga, maka bersama dengan besarnya pengetahuan yang telah tercapai, besarnya soal-soal masih harus diselesaikan pun akan bertambah pula. Mengerti bukanlah lagi berarti berhenti dengan hasil fikiran, melainkan justru melenyapkan tiap-tiap pengetahuan kedalam pergerakan disana terhenti akal saja, kata bahasa popular.Dalam ini dinyatakan bahwa orang tidak mengerti lagi hal itu. Jadi perhentian berarti tidak mengerti, maju terus metode itulah segala-galanya bukan factum melainkan fieri(perjanjian). Fieri ini malahan adalah factum yang satu-satunya, jadi orang tak dapat menetapkan ilmu.Menetapkan objek adalah pekerjaan yang tak berhingga.Tiap permulaan, biarpun ditetapkan secara radikal, membawa ke soal-soal dan perkembangan-perkembangan yang lebih dalam. Itulah hokum logos,hokum daripada yang logis. Fikiran yang logis membuka jalan kepada pertanyaan dan kepada pendalaman soal yang tak terbatas.Kesatuan fikiran adalah kesatuan garis tempuhan yang dilukiskan oleh fikiran. Telah menjadi daerah daging bagi manusia bahwa ia ingin mengetahui apa yang ada. Juga aristoteles berpokok pada hal ini.Menurut natorp pendirian ini adalah naïf. Objek-objek itu berkembang sendiri oleh ilmu-ilmu dalam suatu proses, yang bukan bersifat historis atau bersifat psikologis nelainkan bersifat logis.
Heinrich Rickert (1863-1936) menyebutkan alam dan sejarah sebagai kenyataan-kenyataan yang ditentukan, yang dicoba hendak dihampiri oleh ilmu-ilmu tertentu.Alam dan sejarah sebenarnya baru terjadi dalam dan oleh ilmu.Jika orang meninjau dari jurusan keumuman, maka terjelmalah kenyataan sebagai alam, jika ditijau dari jurusan individual, maka terjadilah kenyataan sebagai sejarah.Kedua-duanya sebenarnya adalah proyeksi.Jelaslah bahwa rickert menolak pendirian, bahwa ilmu sejarah harus berusaha untuk mendapatkan hokum-hukum umum.hokum-hukum sejarah tidak mungkin itu adalah pengertian berdasarkan pertentangan (kontradiksi). Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang individual dan tak berulang lagi tidaklahdapat dianggap sebagai peristiwa-peristiwa daripada aturan-aturan. Individualitnya justru akan hilang. Ilmu sejarah harus membentuk pengertian-pengertian dengan isi individual, demokrasi yunani, demokrasi modern, renesanse caroling, renesanse itali, perang kemerdekaan belanda, perang kemerdekaan amerika.Pada segala peristiwa ini bagi historikus (ahli sejarah) ada sesuatu, yang membedakan masing-masing justru itulah yang harus diperhatikannya.Pengertian-pengertian semacam itu dengan isi individual hanya baru terjelm bila historikus memperhubungkan kejadian-kejadian yang dilukiskanya dengan nilai-nilai.Ilmu kealaman melukiskan objek-objeknya terlepas dari nilai-nilai.Dia tidak pernah berbicara dalam istilah-istilah baik dan buruk.Didalam praktek para penulis sejarah ada melakukan hal itu, tetapi menurut teori mereka harus menyatakan pertimbangan-pertimbangan baik atau buruk.Luther Napoleon dan Hitler mempunyai arti sebagai pribadi-pribadi sejarah.Pekerjaan mereka dapat ditinjau dari sudut nilai-nilai tertentu (kemerdekaan, kemajuan, kesatuan, kekuasaan dan ketertiban).Mreka mungkin telah memajukan nilai-nilai itu tetapi mungkin juga telah merugikannya. Dalam kedua hal ini arti mereka sebagai pribadi-pribadi sejarah tetap tidak dapat dipungkiri dan itulah satu-satunya  yang terpenting menurut teori. Menghubungkan peristiwa-peristiwa sejarh dengan nilai-nilai adalah suatu perbuatan teori, menyatakan pertimbangan tentang baik dan buruk adalah perbuatan praktek.Dengan ini sampailah kita pada pertanyaan-pertanyaan yang hidup diantara segolongan filsuf-filsuf yang termasuk filsuf-filsuf yang paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar