Sejarah Film
BAB I
PEMBUKAAN
1.1 Latar Belakang
Film
merupakan sesuatu yang sudah dikenal oleh seluruh orang di seluruh
belahan dunia. Hampir setiap Negara sudah dapat memproduksi film
nasional atau fim dekumenter yang berkaitan dengan sejarah atau
peristiwa penting bagi sejarah bangsa itu sendiri.
FIlm
merupakan media campuran dari berbagai teknologi dan unsur-unsur
kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman
suara, juga dari berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra,
arsitektur hingga musik.
Di
zaman sekarang ini, Film merupakan salah satu hiburan yang dapat
diakses dengan mudah. Masyarakat sudah tidak asing lagi menonton film,
baik di televise, bioskop, maupun melalui media-media tradisional
seperti layar tancap. Masyarakat bisa setiap hari menonton film lebih
dari satu judul film, ini dikarenakan kecanggihan teknologi sudah
semakin maju.
Berbagai
macam film sudah beredar dimasyarakat, dari mulai film documenter yang
berkaitan dengan sejarah, hingga film-film animasi untuk kanak-kanak,
tinggal bagaimana masyarakat bisa memilih tontonan film yang sesuai
dengan usianya.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini, diantaranya:
1. Untuk mengetahui pengertian film
2. Untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana sejarah dan perkembangan film dunia
3. Untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana sejarah dan perkembangan film Indonesia
4. Untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana sejarah dan perkembangan film Sunda
I.3 Rumusan Masalah
1. Apa itu film?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan film dunia?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan film Indonesia?
4. Bagaimana sejarah dan perkembangan film Sunda?
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Film
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya.
Pengertian film menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu:
· Selaput.
Selaput yang terbuat dari seluloid untuk tempat negative yang dari situ
dibuat potretnya,tempat gambar positif yang akan dibuat di bioskop.
· Gulungan
serangkaian gambar-gambar yang diambil dari objek-objek yang bergerak
dan akhirnya proyeksi dari hasil pengambilan gambar tersebut.
· Cerita yang diputar di bioskop.
Film
mempunyai banyak pengertian yang masing-masing artinya dapat dijabarkan
secara luas. Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari
penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai
inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungapkan realita sosial
yang terjadi di sekitar lingkungan tempat dimana film itu sendiri
tumbuh.
Film
sendiri dapat juga berarti sebuah industri, yang mengutamakan
eksistensi dan ketertarikan cerita yang dapat mengajak banyak orang
terlibat. Film berbeda dengan cerita buku, atau cerita sinetron.
Walaupun sama-sama mengangkat nilai esensial dari sebuah cerita, film
mempunyai asas sendiri. Selain asas ekonomi bila dilihat dari kacamata
industri, asas yang membedakan film dengan cerita lainnya adalah asas
sinematografi. Asas sinematografi tidak dapat digabungkan dengan
asas-asas lainnya karena asas ini berkaitan dengan pembuatan film. Asas
sinematografi berisikan bagaimana tata letak kamera sebagai alat
pengambilan gambar, bagaimana tata letak properti dalam film, tata
artistik, dan berbagai pengaturan pembuatan film lainnya.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Film Dunia
Tahun 1250, ditemukan sebuah kamera bernama OBSCURA.
Tahun 1250-1895,
disebut dengan masa pra sejarah film karena itu merupakan masa dimana
terdapat penemuan" baru yg disebabkan obsesi" besar orang eropa,
contohnya terciptanya sebuah alat yang bisa merekam gerak (yang hingga
kini digunakan untuk membuat sebuah film).
Tahun 1895, dikenal sebagai tahun dimana awal adanya sebuah sinema, karena pada tanggal 28 Desember 1895, untuk
pertama kalinya dalam sejarah perfilman, sebuah film cerita
dipertunjukkan di depan umum. Film ini dibuat oleh Lumiere bersaudara, Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954),
inventor terkenal asal Perancis dan pelopor industri perfilman. Tempat
pemutaran film itu adalah di Grand Cafe di Boulevard des Capucines,
Paris. Sekitar 30 orang datang dengan dibayar untuk menonton film-film
pendek yang mempertunjukkan kehidupan warga Perancis.
Sesungguhnya,
pada awal 1885, telah diproduksi gambar bergerak pertama namun, film
karya Lumiere bersaudara yang dianggap sebagai film sinema yang pertama.
Judul film karya mereka adalah “Workers Leaving the Lumiere Factory.”
Pemutaran film ini di Grand Cafe menandai lahirnya industri perfilman.
Thomas
A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896.
Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada
1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang
diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini
terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896),
Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).
Perubahan
dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan.
Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat
cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata
kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film
lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Isu
yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah
persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi
dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih
besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik.
Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah:
1. Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film;
2. Film
mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya.
Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya. Bagi
Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang
budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang
memberikan keuntungan cukup besar.
Hal
lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat
besar industri film dunia mempunyai kontrol terhadap pendistribusian
film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi
sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru
tidak bisa masuk.
Hampir
sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan
intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film
produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap
saja tidak bisa diremehkan begitu saja.
Sejarah film baru dimulai dan baru sedikit orang yang bekerja di sini sehingga sejarah film memiliki keterbatasan teoritik.
Selama ini sejarah film:
· Terlalu ditekankan pada TV dan film itu sendiri, karena sejarah ini ditulis oleh para kritikus.
· Film
merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Selama ini pendekatan sejarah
film dilakukan dengan pendekatan yang sulit diadaptasi.
· Penulisan sejarah tergantung dan hanya menyangkut kenangannya saja, bukan pendekatan sejarah yang benar.
· Penulisan
sejarah dilakukan dengan menggunakan sumber sutradara atau actor tanpa
sikap kritis. Pendekatan baru dalam sejarah film menggunakan lebih
banyak data, bukan hanya kesaksian actor, sutradara, dll.
· Pendekatan
sejarah film selama ini terlalu kategorik. Pengertian gerakan film dan
aliran film tidak membantu banyak dalam penulisan sejarah film.
Contohnya, nouvelle vague (new wave: gerakan baru sinema Perancis di tahun 1960-an, dengan Jean Luc-Godard sebagai salah satu eksponennya, pen.). Nouvelle vague itu gerakan atau hal yang semu semata?
· Bentuknya
stereotip. Penulisan sejarah film biasanya menggunakan biografi klasik
(kelahiran, perkembangan, dan kejatuhan). Padahal sejarah tidak harus
linear, tidak mengikuti skema Negara. Tujuan film kan dikembangkan untuk
seluruh dunia.
Film
bersuara keluar pertama kali dari studio Warner Brothers karena kondisi
studio itu yang terdesak dan hampir merugi. Wartawan mengembangkan
mitos persoalan WB ini. Padahal terlihat bahwa WB memang sengaja
melakukan investasi besar-besaran untuk film bersuara ini. Faktanya
sekarang WB menjadi konglomerasi media raksasa, bernama AOL-Time Warner.
Tahun 1913-1914 merupakan periode sejarah yang kompleks. Film bisu merupakan early cinema,
tapi bukan film primitif. Pengertian primitif dalam film sebenarnya
terpengaruh oleh terminologi seni primitif yang mengacu pada seni
Afrika. Lalu istilah ini dipakai untuk menyebut film-film Melies. Early cinema digunakan untuk menyebuat sinema awal.
Periode
tahun 1902-1908, gambar ditampilkan dalam bentuk lukisan (model
Melies). Ini yang disebut model representasi primitive (Noel Bratch).
Pengambilan gambar diambil dalam bentuk general shot. Penonton berada di
luar frame. Setiap tableu bersifat otonom.
Pada
tahun 1918, ada fenomena yang berdampak ganda pada film seni. Dalam
salah satu film Melies, ada adegan kejar-mengejar yang menampakkan cirri
film comic. Dari sinilah muncul scenario dan munculnya scenario ini
didorong oleh munculnya editing film. D.W. Griffith mengembangkan adegan
kejar-mengejar ini dari Pathe, sementara ia juga menggunakan gambar
telepon dan surat yang silih berganti. Gambar ini beraasl dari film
Goumount. Di film Griffith ini mulai terjadi peralihan ruang.
Pada tahun 1978, Federasi Arsip Film mengadakan kongres di Brighton dan mempertontonkan 500 film early cinema.
School of Brighton adalah sebuah kolokium historiografi film.
Film-film ini ditemukan oleh sinematek Inggris. Ahli-ahli yang
berkonsentrasi pada early cinema ini kira-kira 350-an orang. Dari
temuan itu, kita mengetahui bahwa pada tahun 1908 profesi sutradara
belum seterhormat sekarang. Hal ini membuktikan bahwa sejarah film harus
terus-menerus ditulis.
2.3 Sejarah dan Perkembangan Film Indonesia
Perfilman
Indonesia sangat menarik, sebab lika-liku yang terjadi dalam perfilman
dapat memberikan pengetahuan baru yang berkaitan erat dengan perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia terutama Perusahaan Umum Produksi Negara
(Perum PFN). Perusahaan perfilman ini sangat menarik untuk diketahui
perkembangannya sebab merupakan saksi perjuangan bangsa dan salah satu
perusahaan perfilman yang tetap bertahan hingga sekarang. Walaupun
perjalanan sejarahnya tidak mudah terutama seringnya pergantian nama
membuat perusahaan ini juga harus selalu melakukan pengembangan dan
perbaikan segala bidang.
Cikal bakal berdirinya perusahaan film
milik negara ini diawali dengan pendirian perusahaan perfilman oleh
Albert Ballink pada tahun1934. Perusahaan ini bernama Java Pasific Film
namun pada tahun 1936 namanya berubah menjadi Algemeene Nederlands
Indiesche Film (ANIF). Perusahaan ini memfokuskan diri pada pembuatan
film cerita dan film dokumenter. Peristiwa pendudukan Jepang di
Indonesia pada tahun 1942 disertai dengan pengambilalihan seluruh
kekayaan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda oleh pihak
Jepang, salah satunya adalah Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).
Setelah terjadinya peristiwa tersebut, Jepang kemudian mendirikan
sebuah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon ii Eiga Sha yang
berada di bawah pengawasan Sendenbu. Film yang diproduksi Nippon Eiga
Sha pada umumnya bertujuan sebagai alat propaganda politik Jepang.
Perkembangan Perum PFN diawali dengan terbentuknya BFI yang dilatarbelakangi oleh adanya gerakan karyawan film
yang bekerja pada Nippon Eiga Sha. Adanya peristiwa penandatanganan
draft persetujuan penyerahan Nippon Eiga Sha kepada perwakilan Indonesia
pada tanggal 6 Oktober 1945 semakin mempermudah gerak para karyawan BFI
untuk melakukan peliputan berbagai peristiwa bersejarah. Pada tahun
1950, BFI berganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) namun
penyempurnaan EYD membuat namanya berubah kembali menjadi Perusahaan Film
Negara (PFN). Pergantian nama perusahaan kembali terjadi dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55 B/MENPEN/1975
pada tanggal 16 Agustus 1975.
Berdasarkan surat keputusan ini maka secara resmi PFN berubah menjadi Pusat Produksi Film
Negara (PPFN). Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai
usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar perusahaan
dapat dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip
yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta mampu untuk mendiri.
Agar dapat mencapai hal tersebut maka PPFN merubah statusnya menjadi
Perum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1988 yang
dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmilah PPFN
berganti nama menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).
Perkembangan
film Indonesia beberapa tahun belakangan ini cukup menggembirakan.
Meskipun tema yang diangkat masih belum terlalu variatif dan kualitas
yang tidak merata namun jumlah film Indonesia yang diputar di bioskop
terus meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan di beberapa jaringan 21
Cineplex, layar yang tersedia sempat didominasi oleh film Indonesia. Di
Surabaya 21, misalnya. Pada pertengahan bulan Juni 2006 kemarin, dari 5
layar yang tersedia, 3 di antaranya diisi oleh film Indonesia. Saat itu
film yang sedang tayang adalah Heart, Cewek Matrepolis, dan Lentera Merah.
Secara
keseluruhan, selama kurun waktu Januari hingga Juni 2006 saja jumlah
film Indonesia yang sudah dan tengah ditayangkan jaringan 21 Cineplex
mencapai 19 buah. Sementara, “Tahun lalu, dalam kurun waktu yang sama,
ada 14 buah film Indonesia. Total untuk 2005 semuanya ada 29 judul,”
kata Joen Soemarno dari PT Indo Ika Mandiri, perwakilan 21 Cineplex
untuk Jawa Timur dan Bali.
Dari
data itu terlihat bahwa hingga pertengahan tahun 2006 telah terjadi
peningkatan 35% dibanding tahun 2005. Padahal masih ada sederet film
Indonesia lainnya yang sudah bersiap untuk diputar usai Piala Dunia
2006.
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
- Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
- Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
Dalam
pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun
film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga
bersitegang. Masing-masing memiliki karakter diversifikasi pasar,
festival dan pola pengembangannya sendiri.
Sementara
pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran
kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai
seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga
intelektual dan budayawan.
Perfilman
Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup
studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi
film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis
kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh
dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan
radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang
melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus
saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus.
Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap.
Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar
video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah
bioskop.
Faktor
yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah
rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi
perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi
untuk berkembang.
Pertunjukan
film di Indonesia sudah dikenal orang pada tahun 1990, sebab pada tahun
itu iklan bioskop sudah termuat di koran-koran. Sedang pembuatan film,
baru dikenal tahun 1910-an. Itu pun sebatas pada pembuatan film
dokumenter, film berita atau film laporan. Pada tahun 1926, barulah
dimulai pembuatan film cerita di Bandung.
Periode-periode Film Indonesia:
- Periode Coba-coba (1926-1937)
Pembuatan
film cerita yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan
yang amat berat. Sebab, harus berhadapan dengan film-film import yang
telah lebih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing
yang dilakukan secara besa-besaran.
Sementara
film kita harus merayap-rayap menjamah bioskop pinggiran sambil
mencari-cari apa yang sebenarnya diinginkan oleh publik ketika itu.
Maka, dicobalah bermacam-macam bentuk dan cerita. Film Nasional
mengalami masa kering yang panjang dan penuh pengorbanan.
- Film Bisu (1926-1930)
Usaha
pembuatan film cerita dimulai (meski masih secara bisu) oleh Kruger
dengan judul “Loe-toeng Kasaroeng” (1926), kemudian disusul oleh Carli,
keduanya adalah peranakan Belanda: tinggal dan membuka usaha di Bandung.
Tahun
1928 di tanah Periangan muncul pula Wong Brother’s asal Shanghai.
Permunculan mereka rupanya menarik perhatian para pengusaha Cina lainnya
untuk bergerak di bidang industri perfilman. Dan pada tahun 1929
berdirilah perusahaan film cerita di Jakarta bernama TAN’S FILM.
- Film Bicara/Bersuara (1931)
Tahun
1929, film bicara pertama diputar; itupun film produk Amerika. Dua
tahun kemudian, di Indonesia dicoba pembuatan film bersuara oleh para
pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan
film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Tentu saja kualitasnya belum
terlalu bagus; namun, barangkali Indonesia lah yang pertama memulai
membikin film bersuara di Asia. Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931) film bersuara pertama. Disusul kemudian “Zuzter Theresia” (Bandung 1932).
Dengan
masuknya suara ke dalam film memberi keuntungan tersendiri bagi
penonton serta produser film. Hal itu disebabkan belum adanya penerjemah
kata asing dalam film dengan bantuan teks, hingga film Indonesia lebih
bisa diterima penonton kita. Penonton jadi lebih tertarik pada film
buatan dalam negeri, meski suaranya sedikit berisik. Walau film produk
dalam negeri banyak diminati penonton, akan tetapi belum memberi
keuntungan yang memadai. Kalaupun ada untung, itupun pendapatannya baru
sebatas untuk menutup biaya produksi.
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia
masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan
film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman
Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an
yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang
khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi
tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana
yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak
kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop
selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung
yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di
bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada
film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain
film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang
berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat
ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun.
Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah
pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya
masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
2.4 Sejarah dan Perkembangan Film Bernuansa Sunda
Munculnya
warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak
kehadiran film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Pada tahun 1926,
NV Java Film Company, yang berdiri di Bandung, membuat film cerita
rakyat Tatar Sunda "Loetoeng Kasaroeng". Bahkan setahun kemudian, G.
Krugers, pembuat "Loetoeng Kasaroeng", kembali menggarap film "Eulis
Acih", dan "Karnadi Tangkap Bangkong"
Patut
dicatat pula sebuah film yang menampilkan pasangan Raden Muhtar asal
Cianjur dan R. Sukarsih asal Cikoneng Tasikmalaya, judulnya "Pareh"
(1934). Film tersebut, dianggap film penting, dan dokumentasinya ada di
Sinematek Belanda.
Cerita
rakyat Lutung Kasarung paling banyak dibuat film. Setelah dibuat film
pada tahun 1926, dibuat lagi pada tahun 1952, salah seorang pemeran
utamanya Tina Melinda. Kemudian pada tahun 1983, Inem Film menggarap
kembali kisah dari Tatar Sunda itu dengan pemeran utamanya Enny
Beatrice.
Film
cerita rakyat yang paling populer dibuat film dan sinetron adalah kisah
tentang Si Kabayan. Tahun 1960-an, cerita Si Kabayan pernah dibuat
gendingkaresmen oleh Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Salah seorang pemeran
Si Kabayan yang paling populer dalam gending karesemen adalah Tajudin
Nirwan.
Ketika
dibuat serial untuk televisi, yang dipelopori oleh R. Ading Affandi
sebagai sutradara dan penulis naskah, tokoh Si Kabayan saat itu
diperankan oleh Abah Us Us, pelawak terkenal dari grup De Bodor. Bahkan
sewaktu Si Kabayan dibuat film oleh PT Diah Pitaloka Film, cerita dan
skenarionya masih tetap digarap oleh Ading Affandi. Tokoh Si Kabayan
diperankan oleh Kang Ibing, yang kemudian mendirikan grup lawak De
Kabayan. Film tersebut disutradarai oleh Bay Isbahi. Tokoh Nyi Iteung
diperankan oleh Lenny Marlina.
Pada
tahun 1989, PT Kharisma Jabar Film melakukan kerjasama dengan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, menggarap film "Si Kabayan Saba
Kota", yang disutradarai H. Maman Firmansyah berdasarkan cerita Min
Resmana, skenarionya ditulis oleh saya sendiri. Pemeran Si Kabayan
dipercayakan kepada Didi Petet, sedangkan tokoh Nyi Iteung dimainkan
oleh Paramitha Rusady. Film tersebut merupakan realisasi dari SKB Tiga
Menteri, yang isinya, agar setiap provinsi di Indonesia membuat film
berdasarkan cerita dari daerahnya masing-masing.
Film
"Si Kabayan Saba Kota" ternyata mampu mencatat rekor sebagai film
daerah yang sukses dalam pemutarannya di seluruh Indonesia. Di Jakarta,
tercatat sebagai film terlaris ketiga. Bahkan, film tersebut terpilih
sebagai Film Komedi Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1990.
Kerjasama
PT Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar kemudian dilanjutkan
dengan membuat film "Si Kabayan dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan Anak
Jin", "Si Kabayan Saba Metropolitan", dan "Si Kabayan Mencari Jodoh".
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak.
Tahun 1895, dikenal sebagai tahun dimana awal adanya sebuah sinema, karena pada tanggal 28 Desember 1895, untuk
pertama kalinya dalam sejarah perfilman, sebuah film cerita
dipertunjukkan di depan umum. Film ini dibuat oleh Lumiere bersaudara, Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954),
inventor terkenal asal Perancis dan pelopor industri perfilman. Tempat
pemutaran film itu adalah di Grand Cafe di Boulevard des Capucines,
Paris. Sekitar 30 orang datang dengan dibayar untuk menonton film-film
pendek yang mempertunjukkan kehidupan warga Perancis.
Thomas
A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896.
Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada
1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang
diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini
terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896),
Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).
Pertunjukan
film di Indonesia sudah dikenal orang pada tahun 1990, sebab pada tahun
itu iklan bioskop sudah termuat di koran-koran. Sedang pembuatan film,
baru dikenal tahun 1910-an. Itu pun sebatas pada pembuatan film
dokumenter, film berita atau film laporan. Pada tahun 1926, barulah
dimulai pembuatan film cerita di Bandung.
Dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
- Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
- Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar