Selasa, 15 Desember 2015

karakteristik sastra


karakteristik sastra

Sastra memiliki kemampuan untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, baik dalam segi budaya maupun sosial. Pada masa perang kemerdekaan, karya sastra menjadi salah satu media yang menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan sagala bentuk penjajahan. Selain itu, karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses perubahan sosial-budaya dari kondisi yang terpuruk menuju kearah yang lebih baik yaitu mandiri dan merdeka.
Karya sastra yang bagus tidak hanya menampilkan dan memancarkan pesona estetik (keindahan), tapi juga harus mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya atau mampu menciptakan opini publik. Jika suatu opini publik ini meluas dan menguat, maka dari situlah proses perubahan sosial-budaya dimulai dapat digerakan.
Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses prubahan sosial budaya. Karya sastra tidak hanya berupa refleksi dari kehidupan masyarakat tetapi karya sastra harus mampu merubah suatu bangsa dengan pemikiran-pemikiran yang disampaikan didalamnya oleh sastrawan. Oleh karena itu, pendidikan tentang pemahaman sastra harus sudah diajarkan sejak dini, menggunakan format-format pengajaran yang kreatif, menarik untuk memberikan kesan yang mendalam tentang sastra sehingga melahirkan bangsa-bangsa pemikir.
Pengajaran sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang memiliki pengetahuan dan apresiasi sastra rendah. Selama ini, meski polemik, seminar dan lokakarya telah digelar bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, namun pengajaran sastra hanya membahas unsur intrinsik dan ekstrisik secara awam.
Sastra dianggap sebagai sesuatu yang lahir dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga dianggap tidak ada intertekstualitasnya dengan teks-teks lain. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang seharusnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman. Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan Standar Kelulusan inilah yang menghegemoni kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran sastra di sekolah kian terpingginggirkan.
Seorang guru sastra yang baik harus mampu mengubah aturan-aturan fundamental yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan, mereka itu bukanlah dewa. Mereka tidak tahu kenyataan yang terjadi ditempat eksekusi. Sesungguhnya yang mengerti keadaan sesungguhnya dari siswa di sekolah adalah guru. Jadi guru sastra lah yang harus membawa anak didiknya untuk memahami kaidah sastra dengan berbagai strategi pengajaran sastra. Dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dengan sistem KBK para pengajar dan siswa harus masuk ke dalamnya. Pengajar tidak perlu merasa hebat dan superior serta siswa tidak perlu dianggap peserta didik yang serba tidak tahu. Kedua belah pihak sama-sama menjadi subyek, keduanya boleh sama-sama menjadi mitra dalam konteks memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra. Pengajaran sastra sekarang harus tertuju kepada realitas yang ada..
Pengajaran sastra tidak harus terus-menerus terpaku kepada materi sastra yang itu-itu saja karena ruang lingkup sastra itu sebenarnya luas. Jangan hanya kita berhenti kepada karya-karya sastra yang telah diterbitkan di dalam buku-buku pelajaran sastra. Sesungguhnya kesusastraan itu hidup dan terus bertumbuh-kembang setiap waktu. Karya sastra akan terus bermunculan dan lahir melalui pena para pengarang dari generasi ke generasi. Ratusan penyair baru, sastrawan muda, pengarang remaja, para penggerak seni budaya dan teater yang terus hidup dan tumbuh bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Karya-karya mereka baik berupa cerpen, puisi, novel, maupun karya-karya drama telah diakui dan menjadi benih di ladang budaya negeri ini.
Belajar sastra dapat dilaksanakan dalam suasana riang dan ringan, serta penuh kebebasan berekspresi, tidak harus membuat dahi berkerut dan berkeringat serta seserius belajar eksakta. Inilah sebetulnya hal yang esensi dari pengajaran sastra. Kalau siswa sudah mulai tertarik, senang, gembira dan merasa enjoy, mudah bagi kita untuk membawa masuk lebih dalam kepada proses pembelajaran.
Kalau yang menjadi masalah kekurangmampuan kita sebagai pengajar dalam mengapresiasi karya sastra sehingga minder untuk memberi contoh dan membawa siswa kepada proses pembelajaran, kenapa tidak kita gunakan mediator? Kita dapat menghadirkan sastrawan, penyair, pengarang, untuk berinteraksi dan melakukan proses pembelajaran sastra. Mereka bisa bercerita bagaimana pengalamannya menjadi pengarang, menjadi penulis, penyair, atau mengisahkan bagaimana proses kreatif terjadi sehingga muncul karya sastra seperti yang ditulisnya. Kita dapat saling menjalin kerjasama dengan kantong-kantong kebudayaan, komunitas seni budaya, pengarang, dan kelompok-kelompok teater serta dewan kesenian di daerah. Mereka biasanya memiliki SDM yang baik dan mampu mengkomunikasikan karya sastra untuk kita ajak bekerjasama menyampaikan pengajaran apresiasi sastra.
Tetapi kalau kita beranggapan mampu mengajarkan sastra, kenapa tidak? Butuh keberanian untuk memulai langkah penggerakan sastra di sekolah. Hal pertama yang akan saya lakukan apabila menjadi seorang guru sastra di sekolah adalah mendekatkan diri dengan sastra. Hal kedua adalah mendekatkan diri dengan siswa. Dan yang ketiga adalah mendekatkan siswa dengan sastra.

Karakteristik Bahasa Sastra

Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar angota. Untuk keperluan itu digunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa adanya masyarakat. Menurut teori struktural, bahasa dapat didefiniskan sebagai sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistemik dan sistematik. Bahasa bersifat sistematiik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur.  Bahasa bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik, dan subsistem leksikon.
Di dalam masyarakat juga terjadi penyimpangan atau pengelompokan bahasa yang disebut dengan variasi bahasa atau ragam bahasa. Ragam bahasa terjadi karena faktor-faktor tertentu. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai salah satu ragam bahasa dalam studi sosiolinguistik, yaitu ragam bahasa sastra. Ragam bahasa sastra merupakan salah satu fenomena bahasa dalam sosiolinguistik yang menarik untuk diulas.
Karakteristik bahasa memiliki bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Purwadarminto membedakan bahasa menjadi beberapa macam yaitu, ragam bahasa umum dan ragam bahasa khusus. Ragam bahasa umum adalah ragam bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh manusia dalam suatu masyarakat. Dalam penggunaannya, ragam bahasa umum tidak nampak ada hal yang spesifik, semua susunan gramatikalnya berdasarkan kontruksi yang telah disepakati bersama.
Selain ragam bahasa umum ada juga ragam bahasa khusus, yaitu ragam bahasa yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai dengan karakteristiknya. Ragam bahasa khusus dikelompokan menajadi beberapa macam, yaitu ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa jabatan, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Semuanya memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang berbeda-beda. Misalnya, ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri singkat, padat, sederhana, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata (diksi) yang tepat, menggunakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan tunduk pada etika dan kaidah yang berlaku di masyarakat. Kemudian tulisan ini akan memaparkan karakteristik bahasa sastra.
Bahasa sastra merupakan salah satu fenomena bahasa dalam sosiolinguistik. Bahasa sastra memiliki karakteristik yang berbeda, ada unsur permainan bahasa, bahasa disiasati, dimanipulasi, didiberdayagunakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan dan efek tertentu; efek estetis. Ada kalanya bahasa bukan sekedar sarana tetapi tujuan untuk mencapai keindahan, atau bahkan keindahan itu sendiri.
Unsur emotif dalam sastra cenderung lebih dominan. Berbeda dengan ragam bahasa ilmiah, dalam bahasa sastra pemilihan kosakata maupun susunan tatabahasanya disesuaikan dengan suasana yang akan dibangun atau dengan kata lain mempermainkan bahasa sedemikian rupa agar muatan emosi yang terkandung dalam karya sastra dapat tersampaikan pada penikmat sastra.
Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :
  1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
  2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
  3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
  4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
  5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
Jenis Bahasa Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a)  Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :
  1. Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
  2. Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
  3. Irama, dan
  4. Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a)  Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b)  Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c)  Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d)  Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar