karakteristik sastra
Sastra memiliki kemampuan untuk membawa
masyarakat ke arah perubahan, baik dalam segi budaya maupun sosial.
Pada masa perang kemerdekaan, karya sastra menjadi salah satu media yang
menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta tanah air,
dan sumber semangat patriotik untuk melawan sagala bentuk penjajahan.
Selain itu, karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong
kekuatan moral bagi proses perubahan sosial-budaya dari kondisi yang
terpuruk menuju kearah yang lebih baik yaitu mandiri dan merdeka.
Karya sastra yang bagus tidak hanya
menampilkan dan memancarkan pesona estetik (keindahan), tapi juga harus
mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya atau
mampu menciptakan opini publik. Jika suatu opini publik ini meluas dan
menguat, maka dari situlah proses perubahan sosial-budaya dimulai dapat
digerakan.
Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya
sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan
sekaligus sumber inspirasi bagi proses prubahan sosial budaya. Karya
sastra tidak hanya berupa refleksi dari kehidupan masyarakat tetapi
karya sastra harus mampu merubah suatu bangsa dengan pemikiran-pemikiran
yang disampaikan didalamnya oleh sastrawan. Oleh karena itu, pendidikan
tentang pemahaman sastra harus sudah diajarkan sejak dini, menggunakan
format-format pengajaran yang kreatif, menarik untuk memberikan kesan
yang mendalam tentang sastra sehingga melahirkan bangsa-bangsa pemikir.
Pengajaran sastra Indonesia di berbagai
jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan
dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang memiliki
pengetahuan dan apresiasi sastra rendah. Selama ini, meski polemik,
seminar dan lokakarya telah digelar bertahun-tahun untuk
menyelesaikannya, namun pengajaran sastra hanya membahas unsur intrinsik
dan ekstrisik secara awam.
Sastra dianggap sebagai sesuatu yang
lahir dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga dianggap tidak ada
intertekstualitasnya dengan teks-teks lain. Hal ini menyebabkan mata
pelajaran yang seharusnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para
siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering,
kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa.
Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran sastra
Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa
cinta, dan penghargaan para siswa terhadap sastra Indonesia sebagai
bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa
dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif),
tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta
(aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar
kelas.
Dalam proses pembelajaran seorang guru
dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu.
Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan
pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya.
Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu
menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan,
serta tidak ketinggalan jaman. Namun sayangnya, guru dihadapkan pada
seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan tertentu yang telah
‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada dogma yang dianggap
sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok
permasalahanya. Silabus dan Standar Kelulusan inilah yang menghegemoni
kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran sastra
di sekolah kian terpingginggirkan.
Seorang guru sastra yang baik harus mampu
mengubah aturan-aturan fundamental yang dikeluarkan oleh Dinas
Pendidikan, mereka itu bukanlah dewa. Mereka tidak tahu kenyataan yang
terjadi ditempat eksekusi. Sesungguhnya yang mengerti keadaan
sesungguhnya dari siswa di sekolah adalah guru. Jadi guru sastra lah
yang harus membawa anak didiknya untuk memahami kaidah sastra dengan
berbagai strategi pengajaran sastra. Dalam proses pembelajaran apresiasi
sastra dengan sistem KBK para pengajar dan siswa harus masuk ke
dalamnya. Pengajar tidak perlu merasa hebat dan superior serta siswa
tidak perlu dianggap peserta didik yang serba tidak tahu. Kedua belah
pihak sama-sama menjadi subyek, keduanya boleh sama-sama menjadi mitra
dalam konteks memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra.
Pengajaran sastra sekarang harus tertuju kepada realitas yang ada..
Pengajaran sastra tidak harus
terus-menerus terpaku kepada materi sastra yang itu-itu saja karena
ruang lingkup sastra itu sebenarnya luas. Jangan hanya kita berhenti
kepada karya-karya sastra yang telah diterbitkan di dalam buku-buku
pelajaran sastra. Sesungguhnya kesusastraan itu hidup dan terus
bertumbuh-kembang setiap waktu. Karya sastra akan terus bermunculan dan
lahir melalui pena para pengarang dari generasi ke generasi. Ratusan
penyair baru, sastrawan muda, pengarang remaja, para penggerak seni
budaya dan teater yang terus hidup dan tumbuh bertebaran di seluruh
pelosok tanah air. Karya-karya mereka baik berupa cerpen, puisi, novel,
maupun karya-karya drama telah diakui dan menjadi benih di ladang budaya
negeri ini.
Belajar sastra dapat dilaksanakan dalam
suasana riang dan ringan, serta penuh kebebasan berekspresi, tidak harus
membuat dahi berkerut dan berkeringat serta seserius belajar eksakta.
Inilah sebetulnya hal yang esensi dari pengajaran sastra. Kalau siswa
sudah mulai tertarik, senang, gembira dan merasa enjoy, mudah bagi kita
untuk membawa masuk lebih dalam kepada proses pembelajaran.
Kalau yang menjadi masalah
kekurangmampuan kita sebagai pengajar dalam mengapresiasi karya sastra
sehingga minder untuk memberi contoh dan membawa siswa kepada proses
pembelajaran, kenapa tidak kita gunakan mediator? Kita dapat
menghadirkan sastrawan, penyair, pengarang, untuk berinteraksi dan
melakukan proses pembelajaran sastra. Mereka bisa bercerita bagaimana
pengalamannya menjadi pengarang, menjadi penulis, penyair, atau
mengisahkan bagaimana proses kreatif terjadi sehingga muncul karya
sastra seperti yang ditulisnya. Kita dapat saling menjalin kerjasama
dengan kantong-kantong kebudayaan, komunitas seni budaya, pengarang, dan
kelompok-kelompok teater serta dewan kesenian di daerah. Mereka
biasanya memiliki SDM yang baik dan mampu mengkomunikasikan karya sastra
untuk kita ajak bekerjasama menyampaikan pengajaran apresiasi sastra.
Tetapi kalau kita beranggapan mampu
mengajarkan sastra, kenapa tidak? Butuh keberanian untuk memulai langkah
penggerakan sastra di sekolah. Hal pertama yang akan saya lakukan
apabila menjadi seorang guru sastra di sekolah adalah mendekatkan diri
dengan sastra. Hal kedua adalah mendekatkan diri dengan siswa. Dan yang
ketiga adalah mendekatkan siswa dengan sastra.
Karakteristik Bahasa Sastra
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat
komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling
hubungan antar angota. Untuk keperluan itu digunakan suatu wahana yang
dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki
dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat
tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa adanya masyarakat. Menurut
teori struktural, bahasa dapat didefiniskan sebagai sistem tanda
arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa
bersifat sistemik dan sistematik. Bahasa bersifat sistematiik karena
mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa
bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau
subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, subsistem morfologi,
subsistem sintaksis, subsistem semantik, dan subsistem leksikon.
Di dalam masyarakat juga terjadi
penyimpangan atau pengelompokan bahasa yang disebut dengan variasi
bahasa atau ragam bahasa. Ragam bahasa terjadi karena faktor-faktor
tertentu. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai salah satu ragam
bahasa dalam studi sosiolinguistik, yaitu ragam bahasa sastra. Ragam
bahasa sastra merupakan salah satu fenomena bahasa dalam sosiolinguistik
yang menarik untuk diulas.
Karakteristik bahasa memiliki bentuk yang
berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Purwadarminto
membedakan bahasa menjadi beberapa macam yaitu, ragam bahasa umum dan
ragam bahasa khusus. Ragam bahasa umum adalah ragam bahasa yang biasa
digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh manusia dalam suatu
masyarakat. Dalam penggunaannya, ragam bahasa umum tidak nampak ada hal
yang spesifik, semua susunan gramatikalnya berdasarkan kontruksi yang
telah disepakati bersama.
Selain ragam bahasa umum ada juga ragam
bahasa khusus, yaitu ragam bahasa yang memiliki ciri-ciri tertentu
sesuai dengan karakteristiknya. Ragam bahasa khusus dikelompokan
menajadi beberapa macam, yaitu ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa
jabatan, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Semuanya memiliki
karakteristik atau ciri-ciri yang berbeda-beda. Misalnya, ragam bahasa
jurnalistik memiliki ciri-ciri singkat, padat, sederhana, lugas, jelas,
jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari
kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata (diksi)
yang tepat, menggunakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah
teknis, dan tunduk pada etika dan kaidah yang berlaku di masyarakat.
Kemudian tulisan ini akan memaparkan karakteristik bahasa sastra.
Bahasa sastra merupakan salah satu
fenomena bahasa dalam sosiolinguistik. Bahasa sastra memiliki
karakteristik yang berbeda, ada unsur permainan bahasa, bahasa
disiasati, dimanipulasi, didiberdayagunakan sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan dan efek tertentu; efek estetis. Ada kalanya bahasa
bukan sekedar sarana tetapi tujuan untuk mencapai keindahan, atau bahkan
keindahan itu sendiri.
Unsur emotif dalam sastra cenderung lebih
dominan. Berbeda dengan ragam bahasa ilmiah, dalam bahasa sastra
pemilihan kosakata maupun susunan tatabahasanya disesuaikan dengan
suasana yang akan dibangun atau dengan kata lain mempermainkan bahasa
sedemikian rupa agar muatan emosi yang terkandung dalam karya sastra
dapat tersampaikan pada penikmat sastra.
Fungsi SastraDalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :
- Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
- Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
- Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
- Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
- Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :
- Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
- Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
- Irama, dan
- Persamaan bunyi kata.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar